Hal yang Fardhu atau Wajib dalam Wudhu'

Fardhu wudhu ada enam, yaitu niat, membasuh muka, membasuh kedua tangan sampai siku, mengusap sebahagian kepala, membasuh dua kaki sampai mata kaki, dan tertib. 

Adapun dasar dari disyari’atkannya wudhu’ dan rukun-rukunnya ialah firman Allah Ta’ala:

 Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki. (Q.S. al-Maidah: 6). 

1. Niat.  

Karena wudhu’ itu ibadah. Sedang dengan niat, ibadah itu bisa dibedakan dari pekerjaan biasa. Rasulullah SAW bersabda: 

اِنَّمَا اْلاَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ، وَاِنَّمَا لِكُلِ امْرِئٍ مَانَوَى(رواه البخارى ومسلم 1907

Sesungguhnya amal-amal itu tergantung pada niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang hanya akan memperoleh apa yang dia niatkan. (H.R. al-Bukhari: 1, dan Muslim: 1907). 

Maksudnya, ibadah itu tidak sah dan tidak dihargai oleh syara’, kecuali bila diniatkan, sedang orang mukallaf hanya akan memperoleh pahala ibadah apabila ia ikhlas ketika melakukannya. 

Adapun arti atau definisinya ialah sebagai berikut: Menurut bahasa, niat berarti: menyengaja. Sedang menurut syara’: menyengaja sesuatu berbareng melakukannya. 

Tempat niat ada dalam hati, dan disunatkan mengucapkannya dengan lidah. 

Cara niat, hendaklah seseorang mengatakan dalam hatinya: “Aku berniat melakukan wudhu’ yang fardhu, atau menghilangkan hadats, atau melakukan sesuatu agar dibolehkan shalat.” 

Waktu niat adalah ketika membasuh bahagian pertama dari wajah, karena wajah itulah awal dari wudhu’. 

2. Membasuh seluruh wajah, 

Berdasarkan firman Allah Ta’ala:

 فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ. 

Maka basuhlah mukamu. 

Adapun batas-batas wajah ialah membujur, dari tempat tumbuhnya rambut sampai ke bawah dagu; dan melintang, dari telinga ke telinga yang lain. Semua yang ada di permukaan wajah wajib dibasuh: alis, kumis maupun janggut, luar dan dalam, karena semua itu termasuk bagian-bagian wajah, kecuali janggut yang tebal, yaitu yang tidak kelihatan kulit di bawahnya. Janggut yang tebal cukup dibasuh bagian luarnya saja, tidak sampai ke dalam-dalamnya. 

3. Membasuh dua tangan sampai siku, karena Allah Ta’al berfirman:

 وَاَيْدِيْكُمْ اِلَىَ الْمَرَافِقِ ...., 

dan kedua tanganmu sampai siku. 

Al-marafiq jamak dari mirfaq (siku), yaitu pertemuan antara lengan atas dan lengan bawah. Dan lla di sini berarti ma’a. Jadi maksudnya: beserta siku, hal itu ditunjukkan oleh hadits yang diriwayatkan oleh Muslim (246), dari A u Hurairah RA:

 اَنَّهُ تَوَضَّأَ فَغَسَلَ وَجْهَهُ فَاَسْبَغَ الْوُضُوْءَ، ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ الْيُمْنَى حَتَّى اَشْرَعَ فِىْ الْعَضُدِ، ثُمَّ يَدَهُ الْيُسْرَى حَتَّى اَشْرَعَ فِىْ الْعَضُدِ، ثُمَّ مَسَحَ رَأْسَهُ، ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَهُ الْيُمْنَى حَتَّى اَشْرَعَ فِىْ السَّاقِ، ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى حَتَّى اَشْرَعَ فِىْ السَّاقِ، ثُمَّ قَالَ: هَكَذَا رَاَيْتُ الرَّسُوْلَ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَوَضَّأُ 

Bahwasanya Abu Hurairah berwudhu’: dia basuh wajahnya dengan menyempurnakan wudhu’nya. kemudian dia basuh tangan kanan-nya hingga masuk ke lengan atas, terus tangan kirinya hingga masuk ke lengan atas. Selanjutnya dia mengusap kepalanya, kemudian membasuh kaki kanan-nya hingga masuk ke betis, terus membasuh kaki kirinya hingga masuk ke betis. Kemudian dia berkata: “Demikianlah saya melihat Rasulullah SAW berwudhu’.” 

Asyra’a fi ‘l-‘Adhudi, dan Asyra’a fi ‘s-Saqi, artinya membasuh sampai masuk ke lengan atas dan betis. 

Seluruh rambut dan kulit wajah dibasuh secara merata. Jadi, kalau di bawah kuku masih ada kotoran yang mencegah sampainya air, atau memakai cincin, maka tidaklah sah wuduhu’nya. karena menurut riwayat al-Bukhari (161), dan Muslim (241) – lafazh hadits ini menurut Muslim-, dari Abdullah bin Amr RA, dia berkata:

 رَجَعْنَا رَسُولِ الله صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ مَكَّةَ اِلَى الْمَدِيْنَةِ، حَتَّى اِذَا كُنَّا بِمَاءٍ بِالطَّرِيْقِ تَعجََّلَ قَوْمٌ عِنْدَ الْعَصْرِ، فَتَوَضَّأُوْا وَهُمْ عُجَّالٌ، فَانْتَهَيْنَا اِلَيْهِمْ وَاَعْقَابُهُمْ تَلُوْحُ لَمْ يَمَسَّهَا مَاءٍ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَيْلٌ لِْلاَعْقَابِ مِنَ النَّارِ، اَسْبِغُوْا الْوُضُوْءَ 

Kami pulang bersama Rasulullah SAW dari Mekah ke Madinah, sehingga manakala kami menemukan air di jalan, maka sekelompok orang bergegas di waktu Asar. Mereka berwudhu’ dalam keadaan tergesa-gesa. Maka kami pun sampai kepada mereka, sedang umit-tumit mereka nampak tidak tersentuh air. Maka Rasulullah SAW: “celakalah tumit-tumit yang akan terkena neraka. Sempurnakanlah wudhu’.? 

Maksudnya: sempurnakanlah wudhu’ dengan membasuh rata anggota – anggotanya. Diriwayatkan pula oleh muslim 

(243): اِنَّ رَجُلاً تَوَضَّأَ فَتَرَكَ مَوْضِعَ ظُفْرٍ عَلَى قَدَمِهِ، فَاَبْصَرَهُ النَّبِيَّ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ ارْجِعْ فَاَحْسِنْ وُضُوْءَكَ فَرَجَعَ ثُمَّ صَلَّى 

Bahwasanya seorang lelaki berwudhu’. Tetapi ada bagian sebesar kuku pada tumitnya yang dia lewatkan. Hal itu diketahui oleh Nabi SAW, maka beliau bersabda: “Ulangi wudhu’mu dengan baik.” Orang itu mengulangi lagi, barulh kemudian shalat. 

Fa raja’a, maksudnya: maka dia mengulangi wudhu’nya dengan sempurna dan sebaik-baiknya. 

Kedua hadits tersebut di atas menunjukkan bahwasanya wudhu’ tidak sah, apabila masih ada yang belum terbasuh, sekalipun hanya sebagian kecil sekali dari anggoa wudhu’ yang semestinya dibasuh. 

4. Mengusap sebagian kepala, sekalipun hanya seutas rambut, selagi masih berada dalam batas-batas kepala, berdasarkan firman Allah Ta’ala:

 وَامْسَحُوْا بِرُءُوْسِكُمْ 

Dan diriwayatkan pula oleh al-Mughirah bin Syu’bah RA:

 اَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ توضّأ وَمَسَحَ بِنَاصِيَتِهِ، وَعَلَى عَمَامَتِهِ 

Bahwasanya Rasulullah SAW berwudhu’, dan beliau mengusap ubun-ubunnya dan atas sorbannya. (H.R. Muslim: 274) 

Dan kalau membasuh seluruh kepala atau sebagiannya, sebagai ganti mengusap, itupun boleh. 

An-Nashiah: bagian depan kepala, yang berarti sebagian daripadanya. Apabila Rasulullah hanya mengusap bagian depan kepalanya saja, itu berarti menunjukkan bahwa mengusap sebagian kepala itulah yang difardhukan, hal mana bisa dilakukan pada bagian yang mana saja. 


5. Membasuh dua kaki beserta dua mata kaki, karena Allah Ta’ala telah berfirman: 

Firman Allah :

 وَاَرْجُلَكُمْ اِلَى الْكَعْبَيْنِ

 ......dan (basuhlan) kedua kakimu sampai kedua mata kaki.

Al-ka’bain adalah isim mutsanna dari al-ka’b, yaitu tulang yang menonjol di kiri-kanan sendi yang mempertemukan antara betis dan telapak kaki. Sedang ila berati ma’a. Maksudnya: beserta kedua mata kaki. Hal itu ditunjukkan oleh apa yang dinyatakan dalam hadits riwayat Abu Hurairah RA di atas:

 حَتَّى اَشْرَعَ فِى السَّاقِ 

Sehingga masuk ke betis. 

Kedua kaki itu wajib dibasuh secara merata, sehingga tidak tersisa daripadanya sekalipun hanya sebesar kuku, ataupun kulit yang tertutup rambut, dikarenakan alasan yang tersebut pada membasuh dua tangan di atas. 

6. Tertib menurut urutan yang telah kami sebutkan di atas 

Hal ini disimpulkan dari ayat yang menyebutkan fardhu-fardhu wudhu’ secara berurutan, dan juga dari praktek yang dilakukan Nabi SAW, bahwasanya beliau tak pernah berwudhu’ melainkan secara tertib – sebagaimana yang dinyatakan dalam ayat di atas. Hal ini diriwayatkan secara otentik dalam berbagai hadits yang shahih, yang di antaranya hadits riwayat Abu Hurairah RA tersebut di atas, dimana terdapat ‘athaf dengan menggunakan tsumma, yang secara muttafaq memuat arti tertib. 

Dalam kitabnya, al-Majmu’ (1/484) an-Nawawi berkata: “Mengenai as-Sunnah sahabat-sahabat kami beralasan dengan hadits-hadits shahih lagi mustafidh yang berasal dari berbagai kelompok para sahabat Nabi mengenai sifat wudhu’ beliau SAW. Meskipun semua menceritakan wudhu’ beliau secara tertib, sekalipun jumlah mereka cukup banyak, dan berbeda-beda pula tempat-tempat dimana mereka menyaksikan wudhu’ Nabi, bahkan sering pula mereka berselisih mengenai sifat-sifat wudhu’ beliau, sekali, dua kali, tiga kali dan seterusnya. Namun sejauh itu, tak pernah diriwayatkan secara otentik mengenai wudhu’ beliau sekalipun berbeda-beda macamnya – satu sifatpun yang tidak tertib. Praktek yang dilakukan Nabi SAW adalah merupakan keterangan tentang wudhu’ yang diperintahkan. Dan sekiranya meninggalkan tertib itu boleh dilakukan, niscaya beliau telah meninggalakannya pada suatu saat, untuk menerangkan tentang kebolehan tersebut, sebagaimana beliau diberbagai kesempatan tidak melakukan basuhan ulangan.