Ajaran Agama Islam Tentang Kebebasan

Pengertian dan Definisi Kebebeasan

Kebebasan adalah fitrah yang dimiliki manusia sejak ia diciptakan oleh Tuhan. Ia adalah hak alami bagi manusia. Ia adalah kebutuhan pokok bagi tiap pribadi serupa dengan kebutuhan hawa untuk paru-parunya, cahaya untuk matanya dan roh untuk jasadnya. Ia adalah nyanyian yang merdu yang dinyanyikan oleh sastrawan-sastrawan dan penyair-penyair.

Ia adalah harapan yang syahdu yang diidam-idamkan oleh para pemimpin dan patriot bangsa. Ia adalah salah satu dasar yang menghiasi konstitusi-konstitusi negara untuk menegakkan kedaulatan rakyat dan menghentikan kekuasaan otokrasi. Ia menduduki tempat yang tinggi di hati rakyat sepanjang pemerintah-pemerintahannya tidak menyalahgunakannya.

Dan agama Islam telah datang untuk menghilangkan ikatan-ikatan yang membelenggu kebebasan manusia dan menjaga hak kebebasan itu agar tidak dipermainkan dan disalah-gunakan, yaitu kebebasan beragama, kebebasan berpolitik, kebebasan berpikir, kebebasan bergerak, kebebasan berusaha, kebebasan berteduh dan lain-lain hak kebebasan yang merupakan sendi-sendi kepribadian seseorang.

Kebebasan beragama 

Pelakasnaan hak kebebasan beragama tercermin dalam: Kesatu: Tidak memaksakan seseorang untuk melepaskan agamanya atau memaksanya menganut sesuatu aqidah tertentu, Allah berfirman:

“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.” (Al-Baqarah 2560.

“Dan Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka Apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya ? Dan tidak ada seorangpun akan beriman kecuali dengan izin Allah; dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya. Katakanlah: "Perhatikanlah apa yaag ada di langit dan di bumi. tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan Rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman".” (Yunus 99-101).

“Dan Katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka Barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan Barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir".(Al-Kahfi 29).

 “Kemudian jika mereka mendebat kamu (tentang kebenaran Islam), Maka Katakanlah: "Aku menyerahkan diriku kepada Allah dan (demikian pula) orang-orang yang mengikutiku". dan Katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi Al kitab dan kepada orang-orang yang ummi[190]: "Apakah kamu (mau) masuk Islam". jika mereka masuk Islam, Sesungguhnya mereka telah mendapat petunjuk, dan jika mereka berpaling, Maka kewajiban kamu hanyalah menyampaikan (ayat-ayat Allah). dan Allah Maha melihat akan hamba-hamba-Nya.(Ali-Imran 19-20).

Kedua; Adalah menjadi hak Ahlil Kitab untuk melaksanakan perintah-perintah agamanya, dengan bebas. Gereja-gereja mereka tidak boleh dorobohkan dan salib-salib mereka tidak boleh dirusak. Bersabda Rasulullah saw.:

 أتركوهم وما يدينون

“Biarkanlah mereka dengan agama mereka.”

Bahkan menjadi haknya perempuan Yahudi atau Nasrani yang bersuamikan orang Islam untuk tetap melaksanakan peraturan agamanya, seperti pergi ke gereja atau tempat peribadatan lain, sementara sang suami tidak berhak untuk melarangnya.

Ketiga; Agama Islam membolehkan mereka (yang beragama lain) melakukan apa yang dibolehkan oleh agama mereka sendiri, seperti makan daging babi dan minum khamer, kalau memang agama mereka mengizinkannya tidak patutlah babi-babi dimusnahkan dan khamer dibuang. Dengan demikian maka agama Islam memberi kelonggaran, kepada mereka yang tidak diberikannya kepada orang-orang Islam yang diharamkan makan daging babi dan minum khamer.

Keempat; Mereka (yang beragama lain) diberi kebebasan menerapkan peraturan-peraturan agamanya dalam urusan kawin, thalaq, nafkah dan lain-lain. Mereka bebas melaksanakannya tanpa batas atau ikatan-ikatan.

Kelima; Islam melindungi hak-hak mereka (yang beragama lain) dan menghormati kepribadian mereka dengan diberinya kebebasan berdebat dan bermujadalah dalam batas-batas logika dan pikiran sehat dan menurut cara-cara yang sopan, tidak kasar dan tidak pula memaksa. Allah swt. berfirman:

“Dan janganlah kamu berdebat denganAhli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka, dan Katakanlah: "Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada Kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan Kami dan Tuhanmu adalah satu; dan Kami hanya kepada-Nya berserah diri". (Al-Ankabut 46).

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah[845] dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (Annah’l 125).

Kebebasan berpikir dan berbicara 

Agama Islam berseru dan menganjurkan orang supaya berpikir dan merenungkan kekuasaan Allah serta memperhatikan kerajaan langit dan bumi serta apa yang diciptakan oleh Allah swt. Karena berpikir adalah fungsinya akal dan dengan akal dibedakanlah manusia dari binatang dan lain-lain makhluk Tuhan. Jika akal tidak berfungsi, maka manusia telah kehilangan milik satu-satunya yang menjadikannya makhluk utama dan termulia di atas bumi dan tidak dapat lagi berperan dalam kehidupan.

Para cendekiawan telah sepakat bahwa pikiran yang bebas dan akal yang kreatif adalah pangkal kemajuan umat manusia, sedang pikiran yang terbelenggu dan akal yang beku yang tidak berinisiatif dan hanya pandai meniru dan menjiplak menjadi penghambat kemajuan individu dan umat.

Karena itu datanglah agama Islam melepaskan akal manusia dari belenggunya yang berupa syirik dan aqidah yang bathil serta adat istiadat jahiliyyah yang tidak dapat diterima oleh pikiran yang sehat dan akal yang waras. Islam berseru dan menganjurkan agar orang menggunakan akal pikirannya dengan bebas tanpa tekanan satu paksaan. Allah berfirman: 

“Katakanlah: "Perhatikanlah apa yaag ada di langit dan di bumi.” (Yunus 101)

“Dan Apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu yang diciptakan Allah.” (Al-A’raf 185). 

“Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir.” (Al-Baqarah 219).

Islam tidak membatasi orang berpikir dan merenungkan segala sesuatu kecuali tentang dzat Allah yang tidak dapat dijangkau oleh pikiran dan akal manusia yang masih terbatas. Tentang itu hendaklah orang percaya saja kepada apa yang diwahyukan kepada Rasul-Nya. Sungguhpun demikian pada dasarnya agama Islam mengehendaki agar orang yang beriman dan beraqidah mendasarkan aqidah dan imannya kepada keyakinan yang diperolehnya dari pemikiran dan perenungan dan bukan berdasarkan taqlid yang buta atau turut-turutan. Karenanya iman orang yang bertaqlid dapat diragukan.

Kebebasan berpikir tidak dapat dipisahkan dari kebebasan mengeluarkan pendapat dengan lesan ataupun dengan tulisan. Hal mana dibenarkan dan dianjurkan pula oleh Rasulullah yang selalu berpesan kepada para sahabat supaya mereka berterus terang mengeluarkan isi hati terhadap siapa saja dan dalam keadaan bagaimana pun. Bersabda beliau:

 ألسّاكت عن الحقّ شطان أخرس

“Barangsiapa berdiam diri terhadap kebenaran (tidak mengucapkannya) ia adalah syaitan bisu.”

Didikan Rasulullah dan ajarannya yang demikian itu kepada para sahabatnya telah memberanikan seorang perempuan membantah Umar Ibnu Khaththab di depan umum tentang soal mas-kawin. Umar Inul Khaththab yang kala itu adalah khalifatul-muslimin, melarang orang memberi mas-kawin berlebih-lebihan, maka datanglah seorang perempuan menyanggah larangan itu seraya berkata: “Ya Amirul-mu’minin, bagaimanakah engkau dapat melarang sesuatu yang oleh Allah diperkenankannya, tidakkah engkau baca firman Allah:

“Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, Maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang Dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata ? (An-Nisa 20).

Mendengar sanggahan perempuan itu, berkatalah Umar: “Semua orang lebih mengetahui dari Umar termasuk orang-orang perempuan. Umar salah dan benarlah perempuan itu.”

Termasuk dalam kebebasan berpikir, juga kebebasan pers, kebebasan mimbar dan kebebasan menarik kesimpulan dari suatu pembahasan ilmiah tentang astronomi, ilmu alam, hewan dan manusia. Islam tidak menentukan sesuatu teori ilmiah yang dipaksakan kepada akal manusia untuk menerimanya, tetapi menyerahkannya kepada tiap orang yang berpikir untuk menarik kesimpulannya sendiri setelah melakukan pembahasan dan penelitian dengan sarana-sarana yang dimilikinya.

Dan adalah hasil kebebasan berpikir yang diajarkan oleh islam apa yang terdapat sekarang dalam perpustakaan-perpustakaan berupa perbendaharaan ilmiah yang luas dalam bidang falsafah, manthiq, tauhid, ushul fiqih, tasawuf, kedokteran, kimia, alam, teknik dan lain-lain yang merupakan warisan ajaran Islam dan yang menjadi pangkal tolak kemajuan dan peradaban Barat masa kini.

Hanya satu hal yang dilarang oleh islam dalam menerapkan kebebasan mimbar, janganlah orang menggunakannya untuk kampanye melemahkan rasa keagamaan, merusak nilai-nilai akhlak dan budi pekerti, menyebarkan kemurtadan dan sekularisme. Karena itu semua, tidak diragukan lagi, merupakan wabah dan racun bagi masyarakat yang harus ditentang dan disingkirkan. 

Kebebasan berpolitik 

Kebebasan berpolitik mencakup: 
  • Keikutsertaan dalam pemerintahan, dengan jalan pelaksanaan hak pencalonan, hak pemberian suara dalam pemilihan dan atau dalam suatu referendum. Pelaksanaan hak kontrol terhadap cara-cara para penguasa menjalankan roda pemerintahan. 

Jika keikutsertaan dalam pemerintahan lewat pencalonan dan pemberian suara dalam pemilihan ialah hak yang dimiliki oleh tiap manusia. 

Tiap muslim berhak mencalonkan dirinya untuk salah satu jabatan dalam pemerintahan, bila ia telah merasa memenuhi syarat-syarat yang layak bagi jabatan itu, dan ia pula berhak memberikan suaranya bagi orang lain yang diketahuinya memenuhi syarat dan kecakapan bagi jabatan yang akan diserahkan padanya. Islam mewajibkan pemilihan penguasa dengan cara bai’at yang dilakukan langsung oleh rakyat atau oleh para wakilnya yang dipilih, atau dengan cara referendum. Dengan demikian sang penguasa memperoleh kekuasaannya dari rakyat, maka ia adalah wakil rakyat dalam melaksanakan jabatannya melindungi agama dan memimpin negara. 

Dan tidak menjadi syarat, bahwa seorang penguasa harus dipilih dari sesuatu keluarga atau sesuatu suku khusus. Yang diisyaratkan hanyalah kecakapan dan kemampuan untuk memikul beban pemerintahan dan memimpin rakyat yang memilihnya. Maka jika seorang sudah merasa dirinya memiliki syarat itu, ia dapat saja mencalonkan dirinya walaupun pencalonan itu dapat ditolak atau diterima oleh rakyat. Namun bila sudah terpilih oleh rakyat banyak, maka tidak seorang dapat menolak apa yang telah menjadi pilihan dan putusan orang banyak. 

Sang penguasa yang sudah dipilih dan diangkat tidak boleh memutuskan sesuatu kecuali dengan pemufakatan dan persetujuan rakyat yang diwakilinya. Perwakilan menghendaki agar sang wakil, tingkah lakunya dan tindak tanduknya mencerminkan kehendak rakyat yang sebenarnya dan tidak menyimpang dari mandat yang diterimanya. Dan kalau tidak demikian, maka segala tindak-tanduknya adalah bathil, tidak sah. Dan contoh atau tauladan yang ideal bagi seorang penguasa adalah Rasulullah saw., sebagaimana firman Allah:

“Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa". (Al-Kahfi 110).

“Maka berilah peringatan, karena Sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan. Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka. (Al-Ghasyiyah 21-22). 

“Dan kamu sekali- kali bukanlah seorang pemaksa terhadap mereka.” (Qaaf 45). \

Rasulullah sebagai penguasa menjalankan pemerintahan menurut apa yang diwahyukan oleh Allah kepadanya dan dalam hal-hal di mana tidak ada wahyu maka beliau bermusyawarah dengan sahabatnya dan melaksanakan apa yang menjadi putusan orang banyak walaupun kadang kala berlainan dengan pendapatnya sendiri. Demikian pula hendaknya seorang penguasa pemerintahan menjalankan roda pemerintahannya agar berpedoman kepada hukum yang telah ditentukan oleh Allah dan dimana tidak ada nash yang nyata hendaklah kembali kepada rakyat yang memilihnya minta pertimbangan dan pendapat mereka. 

Hak menyatakan pendapat, menegeritik dan mengontrol cara penguasa menjalankan pemerintahan adalah hak yang dibenarkan oleh Islam dan dimiliki oleh tiap orang. Lihatlah apa yang diperbuat oleh Abubakar Assiddiq, Khalifah pertama, tatkala beliau dipilih menjadi khalifah dan hendak mulia memangku jabatannya. Assiddiq, Khalifah pertama, tatkala beliau dipilih menjadi khalifah dan hendak mulia memangku jabatannya. Berkhutbahlah beliau di hadapan para sahabat dan kaum muslimin yang memilihnya, berkata: 

“Hai orang-orang, sesungguhnya aku telah menjadi wali di atas kamu padahal aku bukanlah yang terbaik di antaramu. Maka jika melihat aku di jalan yang benar bantulah aku dan jika kamu melihat aku di jalan yang bathil tegurlah dan lempangkanlah aku. Bertaatlah kamu kepadaku selama aku bertaat kepada Allah dan jika bermaksiat kepada Allah maka gururlah kewajiban taatmu kepadaku.” 

Berkata seorang pria kepada Khalifah Umar Ibnul Khaththab: “Bertaqwalah kepada Allah hai Amirul-mu’minin.” Lalu ditegurlah orang itu oleh seorang pria lain dengan kata-kata: “Bagaimana engkau mengucapkan kata-kata kepada Amirul-mu’minin?” Saiyidia Umar yang mendengar percakapan dua orang itu berkatalah kepada si penegur: “Biarlah ia mengatakannya kepadaku. Karena tiada baik di antara kamu (rakyat yang dipimpin) jika kamu tidak berani mengucapkannya (seperti teguran itu) kepada kami (para penguasa) dan tiada baik di antara kami (para penguasa) jika tidak menerima (teguran seperti itu) dari para kamu”. 

Pada suatu ketika berkhutbahlah Khalifah Umar di hadapan orang banyak dan berkata dalam khutbahnya: 

“Hai orang-orang, barangsiapa di antara kalian melihat ketimpangan dalam tingkah-lakuku sebagai penguasa, hendaklah ia melempangkannya”. Lalu seorang A’arabi (Arab dari dusun) serentak berdiri menghampirinya seraya berkata; “Hai Amirul-mu’minin, jika kami menemui ketimpangan dalam perjalananmu, pasti akan kami luruskannya dengan pedang kami ini”. Lalu berkatalah Umar: “Syukur kepada Tuhan (Alhamdulillah) yang telah menciptakan di antara umat ini orang-orang yang akan berani meluruskan ketimpangan Umar dengan pedangnya,” 

Dan berkata Saiyidina Usman bin Affan, Khalifah ketiga: “Perintahku adalah menurut perintahmu.” (Maksudnya perintah rakyat yang memilihnya). 

Dan kebebasan manakah yang lebih luas daripada apa yang telah ditunjukkan oleh Rasulullah saw. tatkala mengampuni para munafiq yang telah mencela dan mencaci maki beliau. Mereka dilepas tanpa dibalas atas gangguan mereka terhadap beliau. Berkata Ibnu Mas’uud r.a.: 

Pada waktu perang Hunain, Rasulullah saw. telah mengistimewakan beberapa orang sahabat dalam pemberian bagian ghanimah, di antaranya Al-Aqra’a bin Habis memperoleh seratus ekor unta, demikian pula ‘Uyainah bin Hishen dan beberapa orang pemuka Arab juga diberinya bagian yang istimewa. Seorang sahabat berkata mengeluh: “Demi Allah dia tidak adil dalam pembagian ini.” Mendengar keluhan orang itu, aku mendatangi Rasulullah menyampaikan kepadanya apa yang dikatakan oleh orang itu. Mendengar berita gunjingan itu, berubahlah wajah Rasulullah tanda marah sambil bersabda: “Siapakah yang akan berlaku adil jika Allah dan Rasul-Nya tidak berlaku adil. Rahmat Allah bagi Musa yang telah mendapat gangguan lebih besar dari ini dan bersabar.” Melihat sikap Rasulullah yang demikian itu, berkatalah aku (Ibnu Mas’uud) pada diriku: “Sesudah ini pasti aku tidak akan menyampaikan gunjingan orang lagi kepadanya (Rasulullah saw.) 

Diceritakan oleh Abdullah bin Abbas, bahwa seorang bernama Uyainah bin Hishen pergi mengunjungi Saiyidian Umar bersama kemanakannya yang bernama Alhurr bin Geis. Berkata Uyainah kepada Saiyidina Umar yang sedang duduk bersama sahabat-sahabatnya: “Hai putra Alkhaththab. Demi Allah engkau tidak memberiku yang banyak dan engkau tidak berlaku adil dalam pemerintahan.” Umar marah mendengar kata-kata itu dan hampir saja memukulnya, kalau tidak segera Alhurr bin Geis, kemanakan Uyainah, berseru kepada beliau: “Hai Amirul-mu’minin, Allah swt. berfirman kepada Nabi-Nya: 

“Jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.”(Al-A’raaf 199). 

Dan mamandaku ini adalah seorang dari mereka yang bodoh.” Alhurr melanjutkan ucapannya. Mendengar ayat itu redalah amarah Umar dan tenang kembali. 

Kebebasan berusaha 

Islam memberi kebebasan bagi penganutnya untuk berusaha dan memilih jenis usaha yang dikehendakinya guna menutupi kebutuhan hidup materiilnya. Ia dapat berusaha dalam bidang perdagangan, pertanian dan atau kerajinan tangan. Melakukannya di tempat tinggalnya sendiri atau merantau dan berkeliling di bumi Allah. Ia hanya dituntut dalam usahanya mencari nafkah dan memperkembangkan harta miliknya agar menjauhi cara-cara yang diharamkan oleh Allah seperti riba’, penipuan, penindasan dan lain-lainnya. Berfirman Allah swt.: . 

“Maka Apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? karena Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.” (Al-hajj 46).

“Katakanlah: "Berjalanlah di (muka) bumi, Maka perhatikanlah bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya, kemudian Allah menjadikannya sekali lagi. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Al-Ankabut 20).

“Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, Maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezki-Nya. dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.”(al-Mulk 15)

 على كلّ مسلم صدقة، قلوا فإن لم يجد؟ قال: يعمل بيديه فيتصدّق وينفع نفسه

“Tiap muslim wajib bersedekah. Bertanya para sahabat: “Kalau tidak dapat apa yang disedekahkan?” Rasulullah menjawab: “Bekerja dengan tangannya guna keperluan dirinya. Itu pun sudah termasuk sedekah.” 

Tidak seorang pun berhak membatasi kebebasan orang lain melainkan jika pembebasan atau pengekangan itu untuk kepentingan umum yang sebenarnya, sebagaimana telah dilakukan oleh Khalifah Umar r.a. 

Diriwayatkan bahwa pada suatu malam tatkala beliau beronda secara incognito seperti kebiasaannya, ia mendengar seorang perempuan menyanyikan sebuah bait syair yang artinya: “Adakah jalan memperoleh khamer untuk kuminumnya dan adakah jalan untuk ketemu dengan Nash’r bin Hajjaj?” 

Mendengar nyanyian itu berkatalah Umar pada dirinya: “Pada masa khalifah Umar, hal itu tidak akan terjadi.” Kemudian pada esok harinya dipanggillah Nash’r bin Hajjaj yang diidam-idamkan sang gadis penyanyi itu. Ternyata bahwa dia adalah seorang jejaka yang tampan dan cantik. Ia diperintahkan mencukur rambutnya, namun bahkan nampak lebih cantik dan tampan. Maka untuk menghindari fitnah yang mungkin ditimbulkan oleh jejaka itu di kalangan gadis-gadis yang mengidam-idamkannya, dikeluarkanlah Nash’r bin hajjaj dari Madinah dan diasingkan ke negeri Syam. Tindakan Umar ini adalah semata-mata untuk menjaga kepentingan umum dan agar ketenangan dalam negeri tidak terganggu.