Bentuk Pemerintahan menurut Agama Islam

Bentuk pemerintahan menurut Islam ialah berdasarkan musyawarah. Berfirmanlah Allah swt.: 

“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat

"Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu (Artinya urusan duniawi seperti urusan politik, ekonomi, kemasyarakatan dan lain-lain).” (Ali-Imran 159). 

Dalam ayat pertama ditentukan bahwa pengurusan urusan –urusan muslimin harus dilakukan dengan dasar permusyawaratan dan tidak dibenarkan dilakukan oleh seorang saja dengan kemauannya sendiri selaku diktator. Sedang dalam ayat kedua Allah memerintahkan kepada Rasulullah hendaknya bermusyawarah dengan para sahabatnya dalam soal-soal yang belum atau tidak diwahyukan kepadanya. Dan jelaslah bukan soal-soal keagamaan yang diperintahkan untuk dipermusyawarahkan, tetapi soal-soal yang menyangkut urusan-urusan duniawi seperti ketatanegaraan, pemerintahan dan lain-lainnya. Demikianlah maka Rasulullah saw. selalu bermusyawarah dengan para sahabatnya tentang hal-hal yang belum ditentukan oleh wahyu Ilahi. 

Maka dengan sendirinya termasuk hal-hal duniawi yang harus dipermusyawarahkan, ialah soal pemilihan dan pengangkatan para penguasa-penguasa pemerintahan yang dipercayakan untuk memimpin rakyat dan negara. Permusyawaratan itu adalah jiwa dan inti demokrasi. 

Sumber kekuasaan 

Kekuasaan yang sempurna adalah kekuasaan yang bersumber dari kehendak dan kemauan rakyat. Karenanya maka hak pengangkatan dan pemberhentian para penguasa dan pemimpin pemerintahan adalah di tangannya rakyat dan dilakukannya oleh orang-orang yang telah dipilihnya di antara para cendekiawan, ahli pikir dan alim ulama. 

Islam tidak menentukan sesuatu cara atau prosedur bagi pelaksanaan permusyawaratan dan bagi pengangkatan dan pemilihan para penguasa. Hal mana diserahkan sepenuhnya kepada keadaan dan suasana, yang akan berbeda-beda dan berubah-ubah menurut waktu dan keadaan setempat. 

Pemilihan pertama dalam sejarah Islam, ialah pemilihan Khalifah Abubakar r.a. pada hari Saqifah yang dilakukan setelah berdebat dan bermusyawarah di antara sahabat-sahabat Muhajirin dan Anshar. 

Adapun mengenai Khalifah kedua, Saiyidina Umar, maka pemilihannya dilakukan oleh Khalifah Abubakar atas persetujuan para sahabat setelah bermusyawarah dengan mereka tentang orang yang patut dan layak menjadi penggantinya bila ia wafat. Hal itu dilakukan oleh beliau untuk menghindari perpecahan di kalangan para sahabat bila ia sekonyong-konyong wafat, sedang khalifah pengganti belum ditentukan orangnya. 

Berkata Saiyidina Abubakar ra dalam pidato pelantikan Saiyidina umar sebagai calon khalifah: 

“Sesungguhnya aku telah menentukan sebagai calon penggantiku, ialah orang yang menurut anggapanku adalah terbaik di antara kamu. Maka bila ia berlaku bijaksana dan adil, maka itulah yang aku ketahui tentang dirinya. Dan apabila ia berlaku dzalim dan fasiq, maka itu adalah hal yang ghaib yang aku tidak mengetahui sebelumnya. Akan tetapi bagaimanapun kebaikanlah yang aku kehendaki dan 

“tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali.” (Hud 88). 

Sedang khalifah ketiga, yaitu Usman bin Affan, pengangkatannya juga lewat pemilihan oleh enam sahabat Rasulullah yang telah diberi tugas oleh khalifah Umar untuk memilih seorang menjadi khalifah penggangitnya bila ia wafat. 

Dari tiga kasus pemilihan khalifah ini dapat diketahui bahwa Islam tidak menentukan suatu cara khusus bagi pelaksanaan pemilihan dan pengangkatan seorang khalifah. Cara dan prosedur bagaimanapun dapat ditempuh asalkan menjamin berlakunya musyawarah dan didengarkannya suara dan kehendak rakyat yang memegang kedaulatan. 

Beberapa syarat bagi seorang penguasa 

Disyaratkan bahwa seorang penguasa harus berpengetahuan dan memiliki kecakapan untuk memimpin umat dan melaksanakan tugas pemerintahan. Ia adalah satu dari pada rakyat, tidak mempunyai keistimewaan atau hak khusus melebihi rakyat lain. Ia adalah sama seperti rakyat lain terhadap hukum dan undang-undang. Kelebihannya adalah hanya dalam jabatannya yang dapat dipertahankannya oleh rakyat atau dicabutnya dari padanya jika dikehendaki. Karena kedaulatan adalah selalu berada di tangan rakyat. 

Berkata khalifah Umar r.a.: “Sesungguhnya Amirul-mukminin itu adalah seorang dari pada kamu (tidak berbeda), akan tetapi ia paling berat bebannya”. 

Masyarakat Islam walau saat-saat sedang diperintah oleh kekuasaan perorangan yang absolut, tidaklah sunyi dari orang-orang yang berjiwa dan bersikap demokratis yang tidak segan-segan mempertahankan dan mempraktikkan prinsip demokratisnya dalam kehidupannya sehari-hari dan dalam melakukan kewajibannya sebagai seorang pegawai negeri. 

Terjadilah pada suatu ketika seorang khalifah bernama “Al-Ma’mun” dari suku Banil Abbas, berurusan perkara dengan seorang penduduk biasa di hadapan seorang hakim bernama Yahya bin Aktsam. Sewaktu sang khalifah hendak duduk di samping musuhnya menghadap sang hakim, datanglah pembantunya menghamparkan permadani untuk duduknya sang khalifah. 

Melihat tindakan pembantu khalifah itu, berkatalah Yahya bin Aktsam kepada Khalifah Al-Ma’mun: “Janganlah engkau memonopoli kemuliaan majlis ini untuk dirimu sendiri, hai Amirul-Mukminin”. Mendengar teguran sang hakim, segeralah khalifah Al-Makmun karena merasa malu menyuruh pembantunya menghamparkan juga sebuah permadani bagi si musuh perkaranya. 

Itulah hakim Yahya bin Aktsam yang walaupun ia seorang pegawai negeri yang diangkat oleh khalifah, ia tidak segan-segan menegur khalifahnya, suatu tanda bagaimana demokrasi Islam telah menjiwainya dan menjadi pedomannya dalam melaksanakan tugasnya sebagai kepada peradilan. 

Fungsi pemerintahan 

Pemerintahan adalah suatu amanat Allah kepada hamba-hamba-Nya yang berkesempatan memegang tampuk pimpinannya. Diriwayatkan oleh Muslim bahwa Abu Dzarr ra berkata: “Bertanya aku kepada Rasulullah saw. “Ya Rasulullah, tidak dapatkah engkau memberiku jabatan seorang wali di salah satu wilayah?”. Rasulullah seraya memukul pundakku bersabda:

 ياابا ذ رّ إنّك ضعيف وإنّها أمانة وإنّها يوم القيامة خزي وندامة إلاّ من أخذها بحقّّها وادّى الّذي عليه فيها

“Hai Abu Dzarr, engkau adalah seorang yang lembut, sedang jabatan yang engkau minta adalah suatu amanat yang akan merupakan penyesalan dan kehinaan di hari kiamat, kecuali bagi orang yang dapat menegakkan haknya dan memnuhi kewajibannya”. 

Dan sebagai pemegang amanat, sang penguasa dalam pemerintahan hendaklah menyerahkan jabatan-jabatan umum yang menyangkut kepentingan orang banyak kepada orang-orang yang amin dapat dipercaya dan dikenal kejujurannya, yang kuat fisik dan mentalnya dan cakap melakukan tugas yang dibebankan kepadanya. Maka jika diajukan, untuk menduduki suatu jabatan, orang yang sepatutnya diundurkan atau diundurkan seseorang yang selayaknya menduduki suatu jabatan, maka hal itu akan mendatangkan murka Allah dan musibah-Nya. 

Diriwayatkan oleh Yazid bin Sufyan bahwa Khalifah Abubakar r.a. berpesan kepadanya tatkala mengutusnya pergi ke Syam sebagai wali: “Hai Yazid, apa yang sangat aku takutkan dari padamu, ialah bahwa engkau akan mengutamakan sanak kerabatmu untuk didudukkan dalam pemerintahan. Aku telah mendengar Rasulullah saw. bersabda:

 من ولّى من أمر المسلمين شيئا فأمّر عليهم أحدا محاباة فعليه لعنة الله، لا يقبل الله منه صرفا ولا عدلا حتّى يدخله جهنّم

“Barangsiapa menjadi wali (penguasa) bagi kepentingan umat Islam lalu mengangkat seseorang (untuk suatu jabatan) hanya karena pilih kasih, maka laknat Allah akan menimpa atasnya dan Allah tidak akan menerima dari padanya ibadah apapun, fardhu atau sunnah, sampai ia dimasukkan Jahannam”. 

Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ra bahwa Rasulullah saw. bersabda:

 من استعمل رجلا على عصابة من المسلمين وفيهم من هو أرضى لله منه فقد خان الله ورسوله ولمؤمنين

“Barangsiapa mengangkat seseorang untuk mengepalai suatu kelompok muslimin, pada hal di antara mereka ada yang lebih diridhai oleh Allah dari orang yang diangkat itu, maka ia telah mengkhianati Allah, Rasul-Nya dan para mukminin”. (Rw. Alhakim). 

Perbendaharaan negara adalah juga amanat di tangan penguasa. Ia wajib menyimpannya di tempat yang patut, menafkahkannya untuk hal-hal dan perbelanjaan yang bermanfaat dan berguna bagi kepentingan jamaah dan perorangan serta akan membawa kebahagiaan dan kesejahteraan bagi ummat dan negara. 

Pada suatu ketika Rasulullah saw. memegang bulu onta di tangannya seraya berkata kepada para sahabatnya:

 لا يحلّ لي من مالكم هذا ولا هذه الوبرة

“Tidaklah halal bagiku walau sehelai bulu ini pun dari harta bendamu”. (Dimasksud perbendaharaan negara). 

Semua hak-hak yang sah bagi rakyat yang diperintah adalah juga amanat di pundak penguasa yang memerintah dan bahwa ia bertanggung jawab atas pelaksanaannya yang merata sehingga sampai kepada tiap orang secara individu. Diriwayatkan oleh Bukhari bahwa Rasulullah saw. bersabda:

 كلّكم راع ومسؤل عن رعيّته فالإمام راع ومسؤل عن رعيّته

“Tiada orang dari pada kamu adalah penggembala dan bertanggung jawab tentang penggembalaannya. Seorang imam adalah juga penggembala dan bertanggung jawab atas rakyatnya”. Bersabda Rasulullah saw.:

 مامن إمام يغلق بابه دون ذوى الحاجات والخلّة والمسكنة إلاّ أغلق الله أبواب السّماء دون خلّته وحاجته ومسكنة 

“Tiada seorang imam (wali penguasa) yang menutup pintunya bagi orang fakir miskin dan orang-orang yang butuh, melainkan Allah akan menutup pintu-pintu langit bagi kebutuhan dan kemiskinannya”. Diriwayatkan oleh Aththabarani dari Ibnu Abbas bahwa Rasululah saw. bersabda:

 مامن أمّتى أحد ولّي من أمر الملمين شيئا لم يحفظهم بما يحفظ به نفسه إلاّ لم يجد رائحة الجنّة

“Tiada seorang dari umatku yang menjadi wali, lalu tidak menjaga mereka (rakyatnya) sebagaimana ia menjaga dirinya, melainkan orang itu tidak akan tercium baunya syurga”. 

Diriwayatkan oleh Muslim, bahwa Khalifah Umar ra menulis surat kepada salah seorang walinya bernama Utbah bin Fargat, di antaranya berbunyi: “Sesungguhnya itu (pewalian) bukanlah hasil jerih payah ayahmu atau ibumu atau jerih payahmu sendiri, maka berilah kepuasan kepada para muslimin sebagaimana engkau memberi kepuasan kepada dirimu sendiri dan janganlah sekali-kali bersenang-senang dan mengenakan pakaian sutra dan gaya orang-orang musyrik”. 

Seorang penguasa bertanggung jawab terhadap keamanan wilayahnya ia harus menjaganya agar tiap orang dari pada rakyatnya merasa aman bagi dirinya, agamanya, kehormatannya, harta bendanya dan kebebasannya. Ia juga harus menegakkan keadilan dan perlakuan yang sama di antara rakyat sehingga tiap orang memperoleh haknya penuh dan sempurna. Ia juga dituntut agar melaksanakan proyek-proyek yang berguna dan bermanfaat bagi kepentingan umum yang dapat meningkatakan kesejahteraan masyarakat seperti memperluas lapangan kerja lewat perdagangan, perindustrian, dan pertanian. Di samping itu berkewajiban pula meningkatkan kecerdasan rakyat lewat pengajaran dan pendidikan fisik maupun mental. Dan tidak kurang pentingnya adalah usaha pemerintah untuk menjaga persatuan umat agar tetap kuat menghadapi segala rongrongan dari dalam maupun dari luar serta menolak ancaman dan penyerbu-penyerbu. 

Pemerintah berkewajiban: 
  1. Memberi biaya dan perbelanjaan yang cukup untuk kepentingan dakwah dan penyebaran islam agar mencapai seluruh penjuru dunnia.
  2. Mengatur rencana dakwah yang rapi dan praktis dengan menggunakan cara-cara dan sarana-sarana yang menjamin suksesnya dakwah dan meluasnya pengaruh Islam di atas bumi Allah. 
Sungguh berat beban amanat yang diemban oleh seorang penguasa dalam pemerintahan Islam. Karena jika tidak dilaksanakan secara jujur, adil, bersih sesuai dengan tuntunan Ilahi, maka akan merupakan penyesalan dan kehinaan di hari kiamat, sebagaimana telah disabdakan oleh Rasulullah saw. 

Tidakkah Khalifah Umar berkata tentang tanggung jawabnya yang berat sebagai penguasa: “Demi Allah andaikan seekor onta terpeleset di Irak, karena jalan yang rusak yang belum aku tatar, aku akut kepada Allah akan minta pertanggungan jawabku tentang kealpaan itu”. 

Adalah menjadi ukuran bagi baik-buruknya suatu pemerintahan, ialah suara rakyat yang diperintah. Pemerintah yang baik, adil dan bersih akan menimbulkan rasa puas dan hormat dalam hati rakyat yang akan mentaati segala perintah dan undang-undangnya dengan kesadaran dan penuh rasa disiplin. Sebaliknya pemerintah yang kotor, dzalim, kejam dan korup akan dibenci oleh rakyat dan akan kehilangan kewibawaan, sehingga segala peraturan dan udang-undangnya dicemoohkan dan tidak diindahkan dan apabila ada yang mentaatinya maka ia karena terpaksa dan takut, bukan karena kesadaran sebagai rakyat yang berdisiplin dan patuh. Bersabda Rasulullah saw.:

 خير أئمّتكم الّذين تحبّونهم ويحبّونكم وتصلّون عليهم ويصلّون عليكم وشرّ أئمّتكم الّذين تبغضونهم ويبغضونكم وتلعنونهم ويلعنونكم

“Sebaik-baik pemimpin-pemimpinmu ialah mereka yang kamu cintai dan menyintai kamu, kamu berdo’a untuk mereka dan mereka berdo’a untukmu. Dan seburuk-buruk pemimpin-pemimpinmu ialah mereka yang kamu benci dan membenci kamu dan yang kamu laknati dan melaknati kamu”.