Perbedaan cara Sholat laki-laki dan Perempuan

Disunnatkan bagi wanita agar tidak menyamai lelaki dalam lima perkara sebagai berikut: 

Pertama: merapatkan bagian-bagian tubuhnya dalam sujud. Yakni dengan merapatkan kedua sikunya ke lambung dalam bersujud, sedang perutnya dilekatkan dengan paha. Lain halnya lelaki. Bagi lelaki, disunnatkan merenggangkan kedau sikunya dari lambung. Sedang perutnya direnggangkan pula dari pahanya. 

Menurut riwayat al-Baihaqi (2/232):

 اَنَّهُ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ عَلَى امْرَاَتَيْنِ تُصَلِّيَانِ، فَقَالَ اِذَا سَجَدْتُمَا فَضَمَّا بَعْضَ اللَّحْمِ اِلَى اْلاَرْضِ، فَاِنَّ الْمَرْاَةَ لَيْسَتْ فِى ذَلِكَ كَالرَّجُلْ 

Bahwasanya Nabi SAW pernah melewati dua orang perempuan yang sedang shalat, maka beliau bersabda: “Apabila kamu berdua sujud, maka rapatkanlah sebagian daging (bagian tubuh) ke lantai. Karena dalam hal itu, perempuan tidak sama dengan lelaki”. 

Kedua: Wanita harus merendahkan suaranya bila ada lelaki yang bukan muhrimnya. Jadi, dalam shalat jahiriyah pun tidak perlu mengeraskan suaranya, agar jangan terjadi fitnah. Allah Ta’ala berfirman: 

Maka janganlah kamu menunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya. (Q.S. al-Ahzab: 32). 

Takhdha’na bi ‘l-qaul: kamu menunduk dalam berbicara. 

Maksudnya, berbicara dengan sikap lemah gemulai. Maradh: penyakit, yakni kefasikan dan kurang wara’. Ini semua menunjukkan, bahwa suara wanita sering menimbulkan fitnah. Oleh sebab itu, ia disuruh merendahkan suara bila ada lelaki yang bukan muhrim. Jadi, berlainan dengan lelaki, yang disunnatkan mengerakan suara pada shalat-shalat yang patut bersuara keras. 

Ketiga: Apabila wanita mengalami sesuatu di tengah shalat, sedang ia ingin mengingatkan seseorang di sekelilingnya, karena sesuatu hal, maka ia boleh bertepuk tangan, dengan memukulkan tangan kanannya pada punggung telapak tangan kiri. 

Adapun lelaki, apabila terjadi sesuatu padanya di tengah shalatnya, maka disunnatkan baginya membaca tasbih dengan suara keras, tanpa maksud mengingatkan. Karena menurut riwayat al-Bukhari (652), dan Muslim (421), dari Sa’ad bin Sahal RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda: 

مَنْ رَابَهُ شَيْئٌ فِى صَلاَتِهِ فَلْيُسَبِّحْ، فَاِنَّهُ اِذَا سَبَّحَ الْتُفِتَ اِلَيْهِ، وَاِنَّاالتَّصْفِيْقُ لِلنِّسَاءِ

Barangsiapa ragu-ragu karena sesuatu dalam shalatnya, maka hendaklah ia bertasbih, maka ia mendapat perhatian. Dan adapun bertepuk tangan hanyalah bagi wanita. 

At-Tashfiq: tertepuk tangan di sini, yang dimaksud memukul punggung telapak tangan kiri dengan perut telapak tangan kanan. 

Rabahu: ragu-ragu tentang sesuatu hal yang memerlukan peringatan. 

Sedang menurut lafazh Muslim: Nabahu, yang arinya terkena sesuatu yang perlu diberitahukan. 

Keempat: semua tubuh wanita adalah aurat, selain wajah dan telapak tangannya, sebagaimana pernah kami terangkan. 

Karena Allah Ta’ala berfirman: 

Dan janganlah mereka (kaum wanita beriman) Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. (Q.S. an-Nur: 31). 

Tafsir yang masyhur menurut kebanyakan Ulama (Jumhur) ialah, bahwa yang dimaksud perhiasan adalah tempat-tempatnya. Sedang yang biasa nampak dari wanita ialah wajah dan telapak tangannya. (Diriwayatkan oleh Ibnu Katsir: 3/283). 

Sedang Abu Daud (640) dan lainnya meriwayatkan dari Ummu Salamah RA, bahwa dia pernah bertanya kepada Nabi SAW:

 اَتُصَلِّى الْمَرْاَةُ فِى دِرْعٍ وَخِمَارٍ وَلَيْسَ عَلَيْهَا اِزَارٌ؟ قَالَ: اِذَا كَانَ الدِّرْعُ سَابِغًا، يُغَطِّى ظُهُوْرَ قَدَمَيْهَا 

“Bolehkah wanita shalat dengan memakai baju dan tutup kepala saja, tanpa kain?” Jawab Nabi: “(Boleh), apabila baju itu panjang, menutupi punggung telapak kakinya”. 

Ad-Dir’u: baju wanita yang menutupi seluruh tubuh dan kakinya. 

Khimar: penutup kepala wanita, muknah, telekung dsb. 

Jelas, bahwasanya apabila baju itu dapat menutupi punggung telapak kaki di kala berdiri dan ruku’, maka sudah pasti ia akan menjuntai di kala sujud, dan menutupi bagian bawah telapak kaki, karena di waktu itu wanita merapatkan bagian-bagian tubuhnya. (Lihat pembahasan tentang Syarat-syarat shalat). 

Adapun bagi laki-laki, auratnya ialah antara pusat dan lututnya. Jadi, sekiranya dia shalat, sedang yang tertutup dari tubuhnya hanya antara pusat dan lututnya saja, maka shalatnya sah. 

Ad-Daruquthni (1/231) dan al-Baihaqi (2/229) telah meriwayatkan secara marfu’:

 مَافَوْقَ الرُّكْبَتَيْنِ مِنَ الْعَوْرَةِ، وَمَااَسْفَلَ مِنَ اسُّرَّةِ مِنَ الْعَوْرَةِ 

Apa yang di atas dua lutut, termasuk aurat. Dan apa yang di bawah pusat juga termasuk aurat. 

Sedang al-Bukhari (346) meriwayatkan dari Jabir RA: 

اَنَّهُ صَلَّى فِى ثَوْبٍ وَاحِدٍ، وَقَالَ: رَاَيْتُ النَّبِيَّ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّى فِى ثَوْبٍ وَاحِدٍ 

Bahwa Jabir shalat dengan memakai secarik kain, dan berkata: “Pernah aku melihat Nabi SAW shalat dengan memakai secarik kain”. 

Dan menurut riwayat lainnya (345):

 صَلَّى جَابِرٌ فِى اِزَارٍ فَدْ عَقَدَهُ مِن. قِبَلِ قَفَاهُ 

Jabir shalat dengan memakai secarik kain yang telah dia ikat dari arah tengkuknya. 

Al-Izar, pada umumnya berupa kain penutup bagian tengah tubuh, yakni antara pusat dan lutut dan sekitarnya. 

Kelima: bagi wanita hanya disunnatkan iqamat, tidak disunnatkan adzan. Tetapi, kalau dia adzan dengan suara rendah, maka tidak makruh, dan itu merupakan dzikir yang mendapat pahala karenanya. Adapun kalau adzan itu dikumandangkan dengan suara tinggi, maka makruh. Dan jika dikhawatirkan terjadinya fitnah, maka haram. 

Lain dengan lelaki. Anda telah tahu, bahwa bagi lelaki adzan adalah sunnah di kala hendak melakukan tiap-tiap shalat fardhu.