Hadits Etika Bertamu dalam Islam

Sahabat Abdullah bin Bisir ra. mengatakan: Saya mendengar Rasulullah saw bersabda:

 لاَ تَأتُوا الْبُيُوْتَ مِنْ أَبْوَابِهَا وَلَكِنَّ أئتُوْهَا مِنْ جَوَانَبِهَا فَاسْتَأْذِنُوا٬ فَإِنْ أَذِنَ لَكُمْ فَادْخُلُوا وَإلاَّ فَارْجِعُوا٠ 

"Janganlah kalian mendatangi rumah (orang) dari depan pintunya, tapi datangilah dari samping-samping. Lantas ijin. Jika kalian diberi ijin, masuklah. Namun jika tidak, pulanglah." (HR. Tabrani) 

Dalam hadis ini, Nabi berpesan bagaimana etika mendatangi rumah saat bertamu. Yaitu dilarang menghadap pintu rumah, dikhawatirkan akan memandang isi rumah yang semestinya tak pantas dia pandang. Entah pemilik rumah atau perkakas rumah tangga yang tidak pantas terlihat, atau semua yang tidak diinginkan pemiliknya dilihat orang lain. 

Bisa jadi tuan rumah baru berpakaian rumah yang transparan, atau boleh jadi sedang sibuk bekerja sehingga perlu bersisir. Atau mungkin peralatan rumah tangga semrawut sehingga perlu dirapikan dan diatur lebih dahulu. 

Karenanya bertamu di hadapan pintu, besar kemungkinan mengkorek keburukan dan aurat. Padahal yang demikian dilarang dalam Islam. Karenanya Nabi saw memerintahkan agar kita tidak mendatangi rumah dari depan pintu, namun lewat samping pintu, kiri atau kanan, sembari menunggu ijin dengan penuh kesopanan. 

Etika kedua dalam bertamu adalah meminta ijin dengan mengetuk pintu atau bel. 

Jika diijinkan kita masuk, jika tidak, kita pulang. 

Diijinkan masuk, tandanya dibukakan pintu, dijawab, atau disambut oleh orang yang kita kunjungi. Tidak diijinkan tandanya orang yang kita cari tak ada, tidur, sibuk dengan tamu lain, atau sama sekali tak ada jawaban. Bagaimana kita bisa mengerti batasan-batasannya? Nabi mengajarkan kita cara tersebut dalam hadis lain. Beliau katakan, meminta ijin cukuplah tiga kali seraya mengetuk pintu. Jika tidak dibukakan hendaklah kita pulang.