Makna Niat

Ibn Taimiyah mengatakan bahwa terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai kata innama dalam innamal a'malu binniat, apakah ia membatasi apa yang dituturkan ataukah membatasi apa yang dipahami? Abu Yahya al-Hanbali, diikuti oleh beberapa orang, mengatakan bahwa ia membatasi apa yang dipahami. Sedangkan jumhur ulama mengatakan bahwa ia membatasi apa yang dituturkan dan mereka ini benar. Makna innama adalah: tidaklah sesuatu melainkan demikian. Allah SWT mengatakan, "Hanya Allah Tuhan Yang Maha Esa." (QS. an-Nisa': 171) 

Maknanya: Sesungguhnya di antara nama-Nya dan sifat-Nya yang teragung adalah Ilah dan Uluhiyyah. Ia memiliki sifat-sifat lain seperti pemurah, penyantun, mengetahui, dan sifat-sifat lainnya yang disebutkan oleh Ahlusunnah. Tetapi di sini hanya Ilah yang disebut karena orang-orang musyrik menafikan Uluhiyyah. Maka Allah ingin membantah mereka dengan mengatakan, "Hanya Allah Tuhan Yang Maha Esa." (QS. an-Nisa': 171) 

Ini seperti bila dikatakan kepada Anda, "Muhammad bukan seorang yang pemurah." Maka Anda menjawab, "Hanyasanya yang pemurah itu Muhammad." Seolah-olah Anda membatasi beliau pada hal ini saja. Allah SWT berfirman kepada Rasulullah, "Sesungguhnya engkau hanyalah seorang pemberi peringatan." (QS. ar-Ra'd: 7) 

Padahal, beliau mempunyai sifat-sifat yang lain. Karena, beliau juga pemberi kabar gembira, pemberi petunjuk, pengajar, dan pendidik. Tetapi sifat terbesar beliau adalah pemberi peringatan. Maka Allah membatasinya dengan itu. Jadi, ia membatasi pada yang dituturkan saja, bukan dengan yang dipahami. 

Tempat niat adalah di dalam hati dan tidak perlu dilafalkan di dalam ibadat. Barangsiapa yang melafalkannya di dalam ibadat berarti ia berbuat kesalahan sebagaimana yang dilakukan oleh orang yang suka berbuat bid'ah. Subhanallah! Allah berfirman :Katakanlah [kepada mereka], 'Apakah kalian akan memberitahukan kepada Allah tentang agamamu (keyakinanmu)?" (QS. al- Hujurat: 16) 

Ibn Taimiyah dan Ibn al-Qayyim mengatakan bahwa sebagian pengikut asy-Syafi'i telah salah menisbahkan pendapat ini kepadanya. Rasulullah saw tidak pernah melafalkan niat dalam suatu ibadah. Beliau hanya melafalkan niat dalam ibadah haji untuk membedakan antara orang yang melakukan haji ifrad, tamattu', atau qiran. 

Al-Bukhari menyebutkan hadits ini dengan tiga redaksi: 

Pertama:

 إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ 

Yakni, dengan bentuk jamak pada a'mal maupun pada niyat Kedua:

 إِنَّمَا العَمَلُ بِالنِّيَّةِ 

Yakni, dengan bentuk tunggal pada 'amal maupun pada niyat. 

Ketiga:

 إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ 

Yakni, dengan bentuk jamak pada amal tetapi kata niyat dalam bentuk tunggal. Hadits ini yang shahih hanya dari jalur Umar ra. 

Beliau mengatakan, "Maka barangsiapa yang hijrahnya ... dan seterusnya." Kata hijrah berasal dari kata hajr yang berarti meninggalkan. Menurut para ulama yang mendalami masalah-masalah kehalusan hati, adab, dan suluk, makna kata hijrah terdiri dari tiga hal: meninggalkan kekufuran, meninggalkan dosa besar, dan meninggalkan dosa kecil. Yang terbesar di antara orang-orang yang berhijrah adalah mereka yang meninggalkan kekufuran dan dosa-dosa besar. Mereka adalah hamba-hamba Allah yang sesungguhnya, kemudian diikuti oleh orang yang meninggalkan dosa-dosa kecil, lalu orang yang mengikuti dosa-dosa besar, seterusnya orang yang meninggalkan kekufuran. Adapun orang yang tidak meninggalkan kekufuran maka ia termasuk orang yang merugi di dunia dan di akhirat. Sedangkan orang yang tidak meninggalkan dosa-dosa besar, ia berada di tepi jurang yang runtuh serta dalam ketakutan dan kehancuran jika saja Allah tak memberikan rahmat-Nya kepadanya. Adapun orang yang tidak meninggalkan dosa-dosa kecil, berarti ia orang yang berdosa dan melampaui batas. Jika ia terus melampaui batas, maka ia tergabung dengan pelaku dosa besar. Ia harus bertobat kepada Allah dari dosa- dosa, baik yang besar maupun yang kecil. 

Tinggalkanlah dosa-dosa baik yang kecil maupun yang besar. Itulah orang yang bertakwa. Berbuatlah seperti orang yang berjalan di atas tanah yang berduri di mana ia berhati-hati memperhatikan apa yang dilihatnya. Janganlah Anda menganggap remeh sesuatu yang kecil, karena sesungguhnya gunung-gunung itu terdiri dari batu-batu kerikil. Meninggalkan kekufuran akan terwujud dengan Islam, bertobat dengan sungguh-sungguh, memperoleh hidayah, dan memintanya kepada Allah. Adapun meninggalkan dosa-dosa besar terwujud dengan adanya perasaan takut, kepada Allah SWT Sedangkan meninggalkan dosa dosa kecil adalah dengan adanya tingkatan ihsan, yaitu Anda menyembah Allah seolah olah Anda melihat-Nya. Jika Anda tak melihat-Nya, Ia tetap melihat Anda. 

Hijrah itu ada dua macam: Hijrah kepada Allah dan hijrah kepada Rasulullah saw. Hijrah kepada Allah adalah Anda menyertakan obat hati Anda, perilaku Anda, dan akidah Anda dengan Allah SWT. Sedangkan hijrah kepada Rasulullah adalah Anda menjadikan beliau sebagai imam Anda, teladan Anda, dan pengajar Anda di dunia maupun di akhirat. Allah SWT berfirman, "Sesungguhnya telah ada pada [diri] Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu [yaitu] bagi orang yang mengharap [rahmat] Allah dan [kedatangan] hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah." (QS. al-Ahzab: 21) 

Tetapi di sini timbul pertanyaan: Apa makna "tak ada hijrah setelah al-Fath (yakni Fath Malikah)", sebagaimana yang dikatakan oleh Rasulullah sedangkan di sini beliau mengatakan, "Maka barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya benar-benar kepada Allah dan Rasul-Nya." 

Jawabnya adalah sebagai berikut: Makna "tak ada hijrah setelah al-Fath", adalah hijrah dari Mekkah ke Madinah setelah Mekkah dapat ditaklukkan dan menjadi negeri Islam. Maka tak ada lagi hijrah dari sana karena ia telah menjadi tempat risalah Muhammad saw. Adapun hijrah dari selain Mekkah, maka tidak terputus selamanya. Kita dapat terus berhijrah hingga Allah mewarisi dunia beserta isinya. Di dalam sunnah dikatakan bahwa Nabi saw bersabda, "Aku berlepas diri dari setiap muslim yang tetap berdiam di tengah-tengah kaum musyrik." Yakni, tidak mau berhijrah. 

Hijrah tetap merupakan suatu kewajiban. Maka barangsiapa yang mendapatkan tekanan di suatu negeri sehinga tidak dapat menjalankan syiar-syiar ibadahnya dan tidak dapat melaksanakan hak-hak Allah SWT, maka hendaklah ia meninggalkan negeri itu dan berhijrah bersama keluarganya dan kerabatnya sebagai suatu kewajiban apabila ia dapat berhijrah bersama mereka. 

Sesungguhnya ikhlas termasuk syarat-syarat diterimanya amal menurut Ahlussunnah. Karena, suatu perbutan menurut kami mempunyai dua syarat: ikhlas dan mengikut. Yakni, ikhlas karena Allah dan sesuai dengan sunnah Rasulullah saw sebagaimana yang Allah firmankan,"Agar Dia menguji siapakah di antara kalian yang lebih baik amalnya." (QS. Hud: 7) 

Al-Fudhail mengatakan bahwa yang dimaksud adalah yang paling ikhlas dan paling benar. Orang-orang bertanya, "Perbuatan bagaimana yang paling ikhlas dan paling benar?" Al-Fudhail menjawab, "Apabila suatu perbuatan dilakukan tidak karena Allah maka ia tidak diterima, dan apabila tidak mengikuti sunnah Rasulullah juga tidak diterima." 

Karena itu, Anda mendapati sebagian orang yang berbuat bid'ah telah berlaku ikhlas dalam perbuatannya, tetapi ia tidak mengikuti beliau. Jadi, ia telah mewujudkan sebuah syarat namun meninggalkan syarat yang kedua. Sebaliknya ada sebagian di antara mereka yang mengikuti sunnah yang melakukan perbuatan sesuai dengan cara yang ditempuh Rasulullah saw, tetapi mereka berbuat riya dalam perbuatan itu sehingga mereka merusak perbuatan baik yang telah mereka lakukan. Karena itu, kita wajib memperhatikan untuk menyempurnakan kedua syarat ini agar Allah menerima perbuatan-perbuatan kita, karena Allah mengatakan dalam firman-Nya, "Sesungguhnya Allah hanya menerima [kurban] dari orang-orang yang bertakwa." (QS. al-Maidah: 27) 

Apabila ada sesuatu yang timbul pada niat yang murni, apakah ia akan merusaknya? Misalnya, seseorang berniat menuntut ilmu karena mengharapkan keridhaan Allah atau mencari jihad untuk mengharapkan keridhaan-Nya, tetapi kemudian timbul pada dirinya cinta sum'ah dan cinta riya, apakah hal ini merusak perbuatannya? 

Menurut pendapat yang shahih, hal ini tidak merusaknya. Ibn Taimiyah cenderung kepada pendapat ini. Tetapi orang itu harus sadar dan bertobat kepada Allah SWT. 

Inilah yang terlintas pada saya seputar hadits yang sangat penting ini yang termasuk pokok-pokok Islam sebagaimana yang telah saya sebutkan sebelumnya. 

Wallahu alam,. Semoga Allah melimpahkan shalawat dan salam kepada nabi kita Muhammad beserta keluarganya dan para sahabatnya.