Kedudukan Mazhab Abu Hanifah

Mazhab Abu Hanifah merupakan salah satu dari mazhab empat dalam Islam. Ada beberapa macam pendapat dari orang-orang Islam tentang kedudukan mazhab Abu Hanifah ini. Sebagian dari mereka berpendapat dan menganggap bahwa mazhab Abu Hanifah ialah satu mazhab yang baru serta lain dari mazhab-mazhab yang lain. 

Ada sebagian pula dari orang yang merendahkan mazhab Abu Hanifah dengan ucapannya bahwa Abu Hanifah belum sampai kepada taraf atau pangkat berijtihad tentang hukum bahkan beliau hanya sebagai pengikut pada orang-orang lain saja. 

Secara sadar, bahwa Abu Hanifah hidup dan besar di negara Irak. Di Irak beliau menemui banyak perkembangan ilmu fiqih, beliau menerima pelajaran fiqih dan mengembangkannya serta memberi tambahan kepada kaidah ilmu fiqih. Beliau menerima pendapat gurunya dan juga memberi tambahan. Walaupun beliau masih mengikuti orang-orang lain pada sebagian pendapat tetapi beliau telah kembali kepada asal mazhabnya, dan tidak syak beliau terkenal sampai pada derajat atau taraf ijtihad, dan pemimpin dalam ilmu fiqih. 

Pendapat para orientalis seperti Jimbe berasal dari bangsa Inggris bahwa Abu Hanifah dalam mengkaji kaidah pelajaran fiqih berdasarkan pada qiyas dan ini adalah satu cara untuk mendapatkan hukum-hukum agama dalam Islam. 

Di samping itu ada juga orientalis lain seperti Edward Sakhau dan Gold Tasihar mengakui pendapat Abu Hanifah dan berkata, bahwa Abu Hanifah ialah pemimpin para ahli pikir dan beliau telah mengkaji kaidah ilmu fiqih dengan sempurna dan di zaman Abu Hanifah lahir satu pengenalan cara atau sistem ilmu fiqih Islam yang berdasarkan pada ilmu qiyas. Abu Hanifah juga seorang pedagang dan di dalam hidupnya penuh dengan berbagai macam cara hidup di masyarakat dan sebab dari perdagangan itu beliau juga sebagai sendi penghubung antara hidup dalam keluarga maupun agama. 

Abu hanifah sering berpindah dari satu daerah ke daerah yang lain, dengan semua itu beliau dapat mempelajari tata cara perdagangan dan tata cara hidup manusia. Beliau gemar bertukar pikiran (berdebat). 

Abu Hanifah seorang yang bijaksana dalam berpikir, tidak cukup dengan mengkaji hukum fiqih dalam masalah-masalah yang telah berjalan begitu saja atau akan berlaku dan tidak pula dengan hukum-hukum yang sudah kuat dasarnya tetapi beliau di samping itu juga memikirkan masalah-masalah fiqih dengan kajian-kajian hukum yang boleh diterima akal atau yang akan berlaku pada masa yang akan datang dengan semua itu beliau banyak membuat kajian tentang hukum yang akan terjadi dan mengambil kesimpulan hukum dengan sewajarnya. Beliau berkata, “Kami berusaha sebelum datang permasalahan, apabila terjadi dengan senang hati kami atasi dan tidak syak lagi bahwa kajian-kajian hukum untuk masa datang dianggaop sebagai satu perbendaharaan dalam ilmu fiqih”. 

Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa suasana kehidupan di Irak dipenuhi dengan bermacam-macam mazhab, pendapat, dan hidup kemewahan, maka tidaklah menjadi heran sekiranya lahir satu gagasan yang menyatukan hidup modern dan nas-nas agama. Keadaan seperti inilah yang menyebabkan timbulnya satu cara untuk mencari jalan agar mengemukakan di antara apa yang sedang terjadi dalam masyarakat dan nas-nas hukum agama. 

Pelajaran yang menyatukan di antara dua perkara tersebut lahir di kalangan ulama Kufah juga di sekolah (madrasah) Abu Hanifah. 

Ada orang yang berpendapat, sebab pertama yang mencetuskan pelajaran tersebut ialah karena sebagian dari para ulama Irak banyak yang mengadakan hubungan dengan pemimpin-pemimpin negeri dan para sultan. Dan sebab kedua ialah keinginan pemimpin-pemimpin dan raja-raja ingin mendapatkan persetujuan dan ulama-ulama dalam masalah yang sedang berlaku di dalam negeri. 

Orang yang mula-mula sekali mengadakan pelajaran seperti ini ialah Abu Yusuf sahabat Abu Hanifah yang pernah menjadi qadli pada masa pemerintahan Harun Ar Rasyid. 

Pelajaran mencari helah kepada sesuatu hukum itu kadang-kadang mengalami kejanggalan untuk sampai kepada perkara yang di tengah, dan kadangkala dianjurkan untuk sampai kepada satu perkara yang diwajibkan dan benar ataupun dalam menolak kezaliman dengan jalan yang tidak ada nas-nas asal bagi tujuan di atas. 

Sebenarnya Abu Hanifah tidak pernah menulis sebuah kitab dalam masalah pelajaran ini, kalau ada kitab-kitab pelajaran ini hanya ditulis oleh murid-muridnya, seperti Muhmmad bin Al-Hasan. Walaupun bagaimana pemasukan bab helah ke dalam sesuatu hukum adalah suatu penyelewengan yang sangat berbahaya. Manusia harus terselamat pada kali yang pertama tetapi ia tidak akan selamat di waktu-waktu yang lain.