Murid-murid Imam Syafii

Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa guru-guru Imam Syafii amatlah banyak maka tidak kurang pula penuntut atau murid-muridnya. Di antara murid-muridnya : 

Di Mekah : Abu Bakar Al-Humaidi, Ibrahim bin Muhammad Al-Abbas, Abu Bakar Muhammad bin Idris, Musa bin Abi Al-Jarud, di Baghdad : Al-Hasan As-Sabah Az-Za’farani, Al-Husin bin Ali Al-karabisi, Abu Thur Al-Kulbi dan Ahmad bin Muhammad Al-Asy’ari Al-Basri, di Mesir : Hurmalah bin Yahya, Yusuf bin Yahya Al-Buwaiti, Ismail bin Yahya Al-Mizani, Muhammad bin Abdullah bin Abdul Hakam dan Ar-Rabi’ bin Sulaiman L-Hizi. 

Di antara para muridnya yang termasyhur sekali ialah Ahmad bin Hambal yang mana beliau telah memberi jawaban kepada pertanyaan tentang Imam Syafii dengan katanya : Allah Ta’ala telah memberi kesenangan dan kemudahan kepada kami melalui Imam Syafii. Kami telah mempelajari pendapat kaum-kaum dan kami telah menyalin kitab-kitab mereka tetapi apabila Imam Syafii datang kami belajar kepadanya, kami dapati bahwa Imam Syafii lebih alim dari orang-orang lain. Kami senantiasa mengikuti Imam Syafii malam dan siang apa yang kami dapati darinya adalah kesemuanya baik, mudah-mudahan Allah melimpahkan rahmatnya atas beliau. 

Imam Ahmad bin Hambal adalah di antara mereka yang paling banyak menghadiri majlis pelajaran Imam Syafii sehingga Az-Za’farani berkata : Pada tiap-tiap kali aku menghadiri majlis Imam Syafii maka aku dapati Ahmad bin Hambal selalu bersama di majlis tersebut. Ahmad bin Hambal sangat menghormati serta membesarkan gurunya Syafii. Pada suatu hari Imam Syafii menunggang seekor keledai, Ahmad bin Hambal turut berjalan di sampingnya untuk bertanya dan bercakap-cakap. Ketika Yahya bin Mu’in mengetahui hal ini terus beliau mencela Ahmad bin Hambal. Ahmad bin Hambal berkata kepadanya : Jika engkau berada bersama di sebelah yang satu lagi tentulah lebih baik bagimu. Ahmad bin Hambal berkata lagi : Apabila Syafii kembali dari kota Sun’a kami menyambutnya dengan hamparan putih. 

Imam Syafii mengajar di masjid Al-Haram di Mekah pada musim haji dan lain-lain. Banyak orang yang datang mendengar syarahannya dan di sinilah Ahmad bin Hambal menemuinya, dan belajar dengannya. Sebagai dalil peremuannya tersebut; pada suatu masa Ishak bin Rahuwaih berada di majlis Sufyan bin Uyainah untuk menyalin darinya hadits-hadits Amru bin Dinar, tiba-tiba Ahmad bin Hambal datang kepadanya dan berkata : Bangunlah wahai Aba Ya’kub supaya aku perkenalkan kepadamu seorang lelaki yang belum pernah engkau lihat orang yang sebandingnya. 

Ishak bangun dan mengikutinya menuju ke kawasan telaga Zam-Zam, tiba-tiba kelihatan di sana seorang lelaki yang berpakaian putih, mukanya hitam kemerahan dari beliau seorang yang berakal waras, dan beliau ialah Imam Syafii, aku meminta Ishak duduk berdekatan dengannya. Ahmad bin Hambal berkata kepada Syafii :Wahai Abu Abdullah ini adalah Ishak bin Rahuwaih “Al-Hanzali”. 

Imam Syafii pun mengelu-elukan Ishak. Kemudian Ishak bercakap-cakap tentang ilmu dan hukum-hukum. Beliau tercengang dengan kekuatan ingatan Imam Syafii. Imam Ahmad berkata kepada Ishak : Wahai Aba Ya’kub contohilah orang ini karena aku belum pernah temui seorang manusia yang alim selainnya. 

Ketinggian pribadi (Syakhsiyyah) Imam Syafii serta kebaikannya yang luar biasa kelihatan nampak dengan terang sekali sewaktu beliau mengajar dan memberi syarahan-syarahan di masjid Mekah. Beliau tinggal di Mekah kurang lebih sembilan tahun. di samping mengajar beliau mengkaji dan mendalami ajaran-ajaran Al-Quran, hadits-hadits, ijtihad, asal usul pengambilan hukum dan kaidah-kaidah umum dalam bidang ilmu fiqih. 

Pada tahun 195 Hijriah Imam Syafii kembali ke Baghdad setelah bintangnya menerangi seluruh ufuk bidang ilmu fiqih. Lantaran itu banyak para ulama dan orang-orang bijak-pandai, juga ahli pikir datang menemuinya. Di masa itulah beliau mulai menyusun kitabnya “Ar-Risalah” yang dimuatkan di dalamnya beberapaprinsip dalam ilmu usul fiqih. 

Diceritakan bahwa di antara sebab Imam Syafii menyusun kitabnya Ar-Risalah, ialah karena menerima tuntutan dari Abdur Rahman bin Al-Mahdi. Khalifah Abdur Rahman sangat takjub dengan kitab itu katanya : Aku tidak menyangka bahwa Allah menjadikan orang lain sepertinya (sangat alim) 

Imam Syafii mengulangi penyusunan kitab Ar-Risalah ketika beliau mengembara ke negeri Mesir, yaitu pada tahun 199 Hijriah, sementara yang lain pula mengatakan pada tahun 200 Hijriah. Imam An-Nawawi membenarkan kedua pendapat tersebut serta beliau menyatukan antara kedua-keduanya dengan kata, bahwa beliau mengembara pada akhir tahun 199 yang berarti pada permulaan tahun 200 Hijriah. 

Dikatakan juga bahwa sebab kepergiannya ke Mesir ialah karena pada masa itu terdapat dio Baghdad kabilah-kabilah dari kebangsaan Persi telah mengatasi pro-kebangsaan Arab, dan telah kita ketahui bahwa Imam Syafii adalah keturunan Arab Quraisy. Dan sebab yang lain pula ialah karena tersebarnya ilmu filsafah yang mendapat dukungan dari khalifah Al-Ma’mun. 

Imam Syafii adalah seorang alim dalam ilmu fiqih dan beliau sangat menghormatinya. Khalifah Al-Ma’mun menawarkan supaya belia menjadi kadli, tetapi beliau tidak menerimanya, oleh sebab itu kedudukannya tidak tenteram dan selalu menemui kesulitan. 

Di antara sebab lain pula ialah bahwa Abbas bin Abdullah pemerintah Mesir dari keturunan Arab Quraisy dan Hasyim menjemput Imam Syafii datang ke Mesir, oleh sebab itu beliau menerimanya. Beliau bercita-cita hendak berlayar ke Mesir beliau menyusun beberapa rangkaian pantun yang artinya : 

Sesungguhnya jiwaku telah mencintai Mesir 
Barangsiapa menyusunnya ia mengalami kesusahan dan kemiskinan 
Demi Allah aku tidak ketahui sama ada pun aku pergi untuk kejayaan atau kekayaan atau 
Aku ke sana sebagai menuju kekuburan?! 

Imam Syafii tinggal di Mesir selama 40 tahun lebih. Sewaktu di Mesir beliau menyusun beberapa buah kitab, namanya sangat terkenal di masa itu. Banyak orang-orang dari negeri Syam, Yaman dan Irak datang belajar dengannya. Di Mesir juga Imam Syafii mengembangkan mazhabnya yang baru disebabkan keadaan dan juga adat istiadat yang berlainan. Semua hukum-hukum disebukan di dalam kitabnya yang bernama “Al-Um”. 

Di samping mengajar ilmu fiqih Imam Syafii banyak juga mengajar ilmu-ilmu yang lain, ini menunjukkan keluasan ilmunya serta menunjukkan juga betapa banyaknya bidang ilmu yang dipelajarinya oleh murid-muridnya. Hal ini lebih terang dan nyata kepada kita ketika Ar-Rabi’ bin Sulaiman berkata : Imam Syafii mengadakan majlis pelajarannya setelah selesai shalat subuh, kemudian datanglah orang-orang yang mempelajari Al-Quran, apabila matahari sudah naik mereka itu pun pulang, kemudian datang pula ahli hadits bertanya tentang maksud-maksud hadits, apabila matahari ttelah tinggi mereka itu pun pulang dan majlis itu dijadikan untuk bermusyawarah atau mengulangi pelajaran dan apabila matahari lebih tinggi mereka itu pun berpisah, kemudian datang pula ahli-ahli bahasa, ahli timbangan, ahli-ahli nahwu, dan syair, mereka belajar sampai pertengahan hari. 

Ini berarti bahwa Imam Syafii mengajar kurang leih enam jam dengan tidak berhenti. Beliau mengajar dari satu ilmu ke ilmu yang lain dari satu mata pelajaran ke mata pelajaran yang lain, beliau idak meninggalkan majlis pelajarannya. Satu kumpulan pulang dna satu kumpulan yang lain datang, sehingga hampir waktu Zuhur.