Tadzakkur, Mengingat Allah dan Bersyukur atas Kenikmatan-Nya

Di antara hal-hal yang membantu seseorang—secara sempurna—dalam jihadnya melawan nafs dan setan." Nafs di sini maksudnya adalah an-nafs al-ammarah bi as-su', yaitu kekuatan syahwat dan kekuatan ghadhab, bukan nafs secara mutlak yang mencakup juga kekuatan akal. Di antara hal-hal penting dalam jihad melawannya: "Yang sebaiknya dimiliki manu­sia penempuh jalan spiritual dan mujahid adalah kewaspadaan terha­dapnya dengan sebaik-baiknya, yaitu tadzakkur. Dengan menyebutkan­nya, kami mengakhiri pembicaraan tentang maqam ini." Yaitu, maqam pertama dalam pembahasan ini dan yang dikhususkan pada pemba­hasan tentang tujuh kekuatan lahiriah dalam kerajaan badan. Adapun maqam kedua adalah tentang kekuatan-kekuatan batin, yaitu kekuatan akal (al-quwwah al-'aqilah), kekuatan wahm (al-quwwah al-wahimiyyah), kekuatan khayal ('al-quwwahal-mutakhayyilah), dan sebagainya. Bagaima­napun, kita akan mengakhiri pembahasan ini "walaupun masih banyak tema [dalam masalah ini yang harus dibahas].” 

Definisi dan Pengertaian Tadzakkur dan Dzikra

“Dzikra dalam hal ini adalah mengingat Allah SWT dan kenikmatan-kenikmatanNya yang dianugerahkan kepada seseorang." 

Memuliakan Pemberi Kenikmatan, Yang Mahabesar, dan Yang Mahahadir Merupakan Dorongan Fitrah 

Tujuan tadzakkur adalah bersyukur, mengagungkan, dan taat kepada Allah SWT. Manusia dengan fitrahnya dijadikan berwatak menghormati, bersyukur, dan memuliakan Pemberi kenikmatan, Yang Mahabesar, dan Yang Maha hadir. 

Imam Khomeini r.a. telah mengetengahkan pembahasan ini dan mengingatkan bahwa seseorang harus bersyukur dan taat kepada Allah dengan memperhatikan semua aspeknya. Berikut ini penjelasannya. 

Pertama, Menghormati Pemberi Kenikmatan merupakan Dorongan Fitrah 

"Ketahuilah, menghormati dan mengagungkan Pemberi kenikmatan merupakan dorongan fitrah yang manusia dijadikan berwatak demikian dan kepentingannya ditentukan fitrah" di mana manusia diciptakan dengan fitrah selalu bersyukur, memuliakan, dan menghormati siapa yang memberikan kenikmatan kepadanya. Dalam hal ini, dua orang tidak berbeda kecuali orang yang akalnya rusak dan fitrahnya menyim­pang. "Apabila siapa pun memperhatikan kitab (buku catatan amal) esensinya," yaitu di dalam nafs dan kekuatan-kekuatannya yang dianuge­rahkan Allah kepadanya, "tentu ia mendapati padanya tertulis bahwa ia harus mengagungkan siapa yang memberikan kenikmatan kepada manusia." Inilah kitab yang akan disebarkan kepada manusia pada Hari Kiamat. Dikatakan kepadanya, Bacalah kitabmu. "Cukuplah dirimu sendiri pada hari ini sebagai penghisab terhadapmu.[ QS al-Isra [17]:1]" 

"Jelaslah, setiap kali kenikmatan itu semakin besar dan pamrih Pem­beri kenikmatan semakin kecil, maka mengagungkan-Nya adalah lebih wajib dan lebih banyak, berdasarkan ketentuan fitrah. Terdapat—misal­nya—perbedaan yang jelas antara menghormati dan menghargai seseorang yang membantu seekor kuda sambil menggerutu di belakang dengan menghormati dan menghargai orang yang menghibahkan se bidang kebun kepadanya dan tidak mengungkit-ungkitnya. Atau, misalnya, apabila seorang dokter menyelamatkanmu dari kebutaan, maka engkau akan menghormati dan memuliakannya secara naluriah. Dan, apabila ia menyelamatkanmu dari kematian maka penghormatan dan pemuliaanmu kepadanya akan lebih besar lagi." Dengan demikian, be­sarnya kenikmatan secara fitrah menyebabkan besarnya penghormatan, pemuliaan, dan syukur orang yang mendapatkan kenikmatan itu kepada pemberi kenikmatan. Oleh karena itu, kalau seseorang mengingat dan berpaling pada kenikmatan yang tidak terhitung dan tak terhingga yang dianugerahkan Allah SWT kepadanya, dan kalau kalian menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kalian tidak mampu menghitungnya,[ QS Ibrahim [14]: 34] maka i a akan mengetahui bahwa syukur, penghormatan, pemuliaan, peng­agungan, ketaatan, dan ketundukannya kepada Allah SWT harus sesuai (dengan kenikmatan yang tidak terbatas ini, yang dianugerahkan Allah SWT kepadanya. 

Contoh-contoh Kenikmatan Allah SWT 

"Sekarang, perhatikanlah kenikmatan-kenikmatan lahiriah dan batiniah yang dianugerahkan Tuhan Yang Maharaja dari segala raja yaitu Allah SWT, yang kalau jin dan manusia bersatu untuk memberikan satu saja dari kenik­matan-kenikmatan itu kepadanya, niscaya mereka tidak akan mampu melakukannya. Ini merupakan satu hakikat yang kita lalaikan." 

"Misalnya, udara yang kita manfaatkan siang dan malam. Kehidupan kita dan kehidupan semua maujud bergantung padanya, di mana kalau seperempat jam saja kehilangan udara tersebut, tentu tidak ada lagi binatang yang hidup. Udara ini merupakan salah satu kenikmatan yang sangat besar, yang jin dan manusia seluruhnya tidak mampu mem­berikan yang semisalnya kepada kita kalau mereka ingin memberikannya kepada kita." 

"Berdasarkan hal ini, bandingkanlah dan ingatlah sejenak kenikma­tan-kenikmatan Ilahi, seperti kesehatan badan, kekuatan-kekuatan lahi­riah berupa penglihatan, pendengaran, perasaan, dan sentuhan, dan kekuatan-kekuatan batiniah berupa khayal, wahm, akal, dan sebagainya di mana setiap kenikmatan ini memiliki menfaat-manfaat khusus yang tidak terbatas. Semua kenikmatan ini dianugerahkan Tuhan Yang Maha raja dari segala raja kepada kita tanpa kita minta dan tidak diungkit-ungkit." 

"Dia tidak merasa cukup dengan memberikan kenikmatan kenikmatan ini. Akan tetapi, Dia juga mengutus para nabi, para rasul, dan kitab-kitab suci serta menjelaskan kepada kita jalan kebahagiaan dan kesengsaraan, surga dan neraka." 

Nikmat Allah kepada Kita tanpa Berhajat kepada Kita 

Allah SWT telah menganugerahkan kenikmatan-kenikmatan yang tidak terbatas dan tak terhingga. "Dan Dia memberi kita semua yang kiia butuhkan di dunia dan akhirat tanpa membutuhkan dan berhajat pada ketaatan dan ibadah kita. Dia Yang Mahasuci tidak mengambil manfaat dari ketaatan dan tidak ditimpa bahaya dari kemaksiatan. Ketaatan dan kemaksiatan kita bagi-Nya sama saja." Dengan inilah pemberian Allah SWT dibedakan dari pemberian manusia. Sebab, pada umumnya manusia tidak memberi kepada sesamanya kecuali dengan tujuan keduniaan atau keakhiratan. Namun, Allah SWT karena besarnya kecintaan-Nya kepada penghuni kerajaan-Nya, menganugerahi mereka kenikmatan-kenikmatan tanpa tujuan untuk mengharapkan sesuatu dari mereka atau karena membutuhkan mereka. Bahkan, keimanan dan kekafiran mereka serta ketaatan dan kemaksiatan mereka bagi-Nya sama saja. 

Namun, ini tidak berarti bahwa kemaksiatan, seperti ketaatan, disukai dan diridhai Allah SWT. Akan tetapi, Allah SWT memerintahkan ketaatan karena Dia menginginkannya dan menyukai orang yang melakukannya. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertobat dan mencintai orang-orang yang menyucikan diri.[QS al-Baqarah [2]: 222] Allah SWT juga melarang kemaksiatan karena Dia tidak menginginkannya dan tidak menyukai orang yang melakukannya. Akan tetapi, yang dimaksud dengan ketaatan dan kemaksiatan kita bagi-Nya sama saja adalah bahwa ketaatan seseorang tidak menambah sesuatu apa pun pada kerajaan-Nya. Dan barang siapa berjihad, maka sesungguhnya jihadnya itu adalah untuk dirinya sendiri Sesungguhnya Allah benar-benar Mahakaya [tidak membutuhkan sesuatu] dari alam semesta.[ QS al-Ankabut [29]: 6] Demikian pula, kemaksiatan seseorang tidak mengurangi sesuatupun dari-Nya. Barangsiapa kafir, maka sesungguhnya Allah Maha kaya [tidak membutuhkan sesuatu] dari alam semesta.[ QS Alu ‘Imran [3]: 97] 

Tidak sepantasnya terbayang dalam pikiran Anda bahwa cinta Allah kepada hamba-hamba-Nya, yang merupakan pangkal segala kenikmatan yang dianugerahkan kepada mereka, adalah seperti cinta, kasih sayang, dan pemberian Anda kepada orang miskin, yang mendorong Anda untuk menolongnya. Sebab, pertolongan Anda ini karena dorongan kepedihan jiwa yang Anda rasakan terhadap keadaan orang miskin itu. Dengan demikian, pertama, hal itu berguna bagi Anda, dan kedua, hal itu merupakan pertolongan baginya. Sementara itu, cinta dan pemberian Allah SWT yang amat besar kepada hamba-hamba-Nya tidak pernah mendatangkan faedah apapun bagi-Nya. Akan tetapi, semua itu adalah untuk kepentingan orang-orang yang diberi nikmat itu sendiri. 

Peribadahan kepada allah adalah tauhid dan proses menuju Kesempurnaan, sedangkan Peribadahan kepada Selain-Nya adalah kemusyrikan dan kekurangan 

Sebelum ini, telah kami tunjukkan bahwa Allah SWT menyuruh kita agar beribadah: Dan tidaklah Kami ciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.[ QS adz-Dzariyat [51]: 56] dan melarang kita berbuat kemaksiatan bukan untuk kemanfaat dan kebaikan Allah SWT "Akan tetapi, untuk kebaikan dan kemanfaatan kita sendiri, kita diperintah [untuk ber­ibadah] dan dilarang [dari kemaksiatan]." Dari sini, menjadi jelas bagi kila bahwa perkara yang asasi dan penting adalah bahwa apabila peribadahan itu ditujukan kepada selain Allah, maka hal itu merupa­kan kekurangan dan kekafiran bagi manusia yang menyebabkannya dilemparkan ke dalam neraka. Sebab, Maula di sini menurut pen­giasan para ulama kita r.a. tidak meminta diibadahi oleh selain-Nya kecuali karena faedahnya kembali kepadanya. 

Adapun peribadahan kepada Allah 'Azza wa Jalla merupakan tau­hid dan proses menuju kesempurnaan, bahkan tingkatan kesempurna­an manusia yang paling utama. Sebab, faedah peribadahannya seluruh­nya kembali kepadanya dan Allah tidak membutuhkannya. Dengan demikian, peribadahannya kepada Allah SWT merupakan kebebasan, ketinggian, dan keluhurannya. 

Dalam hal ini, Allah SWT berfirman pada awal surah al-Isra': Maha suci Tuhan yang memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam..[ QS al-Isra’ [17]:1]. Dia tidak mengatakan, "memperjalankan nabi-Nya, rasul Nya, atau wali-Nya." Sebab, peribadahan merupakan pangkal kenabian risalah, dan sumber kewalian

Dari sini, kami katakan: "Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya." Kita bersaksi kepada Allah SWT dengan peribadahan Nabi saw. terlebih dahulu, lalu dengan dengan risalah dan kewaliannya. 

Bagaimanapun, seseorang "setelah mengingat kenikmatan-kenikmatan ini dan masih banyak kenikmatan yang lain, yang semua manusia benar-benar tidak mampu menghitung keseluruhannya, bagaimana menghitungnya satu persatu? Setelah ini, muncullah pertanyaan berikut: Tidakkah fitrahmu menetapkan wajibnya mengagungkan Pemberi kenikmatan seperti ini? Bagaimana keputusan akal terhadap pengkhianatan terhadap Pemberi kenikmatan seperti ini?" Dan dilakukannya perbuatan dosa dan kemaksiatan kepada-Nya? 

Kemudian, siapa yang dimaksiati di sini lebih besar daripada segala yang besar. Dia adalah Pencipta langit dan bumi. Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk membagi dosa ke dalam dosa besar dan dosa kecil. Akan tetapi, seluruhnya—mengingat yang dimaksiati itu adalah Allah SWT—adalah dosa-dosa besar. 

Kedua, Memuliakan Tuhan yang Mahabesar juga Merupakan Dorongan Fitrah 

"Di antara hal-hal lain yang ditetapkan fitrah adalah memuliakan pribadi yang agung dan besar. Penghormatan dan pemuliaan yang diberikan manusia kepada pemilik keduniaan, jabatan, kekayaan, dan kekuasaan bermula dari pandangan bahwa mereka adalah besar dan agung." 

Dengan demikian, barangsiapa mengenal keagungan Allah SWT serta kebesaran dan keagungan-Nya yang tiada tandingannya, "maka keagungan apa yang dapat mencapai tingkatan keagungan Tuhan Yang Maharaja dari segala raja, yang menciptakan dunia yang hina dan rendah ini, yang merupakan alam paling kecil dan ciptaan paling remeh. Sementara itu, akal maujud apapun tidak mampu memahami esensi dan rahasianya hingga sekarang. Bahkan, para peneliti besar di alam ini pun belum menemukan rahasia sistem tata surya kita, padahal ia merupakan sistem yang kecil dibandingkan dengan sistem tata surya-tata surya yang lain." Ketika manusia tidak mengetahui semua ini "apakah ia tidak wajib memuliakan dan mengagungkan Tuhan Yang Mahaagung ini, yang menciptakan alam-alam ini dan jutaan alam lain yang gerakan­nya tidak diketahui?" 

Kemudian, orang yang telah mengetahui hal ini dan mengagung­kan Pencipta dalam hati dan di depan matanya, maka segala sesuatu selain-Nya adalah kecil dalam pandangannya. Ia tercegah dari melakukan kemaksiatan apa pun kepada-Nya, baik dalam kesendirian maupun di tengah keramaian. 

Sebaliknya, orang yang meremehkan Pencipta di dalam hatinya, maka segala sesuatu selain-Nya adalah besar dalam pandangan matanya. Setelah itu, ia memandang remeh kemaksiatan-kemaksiatan dan perbuatan-perbuatan dosa. 

Ketiga, Memuliakan Tuhan Yang Maha hadir juga Merupakan Dorongan Fitrah " 

Menurut fitrah, juga wajib memuliakan Siapa yang hadir. Oleh karena itu, engkau lihat seseorang—semoga Allah tidak memperkenankan—membicarakan keburukan orang lain dalam pergunjingannya. Lalu, di tengah pembicaraan itu orang tersebut datang. Maka, menurut fitrah­nya, orang itu akan diam dan menampakkan penghormatan kepadanya.” 

"Diketahui bahwa Allah SWI' hadir di setiap tempat, dan di bawah pengawasan-Nya seluruh kerajaan eksistensi berjalan. Bahkan, setiap jiwa berada dalam Kehadiran Rububiyyah-Nya dan setiap alam terdapat di dalam Kehadiran-Nya Allah SWT." Seperti telah kami kemukakan sebelum ini, bahwa Dia dekat lagi selalu hadir bersama manusia di mana saja ia berada. Dan Dia bersama, kalian, di mana saja kalian berada.[ QS al-Hadid [57]:4] 

Apabila salah satu hal yang mengharuskan penghormatan dan pemuliaan berdasarkan ketentuan fitrah adalah kehadiran, maka kehadi­ran mana lagi yang lebih sempurna daripada Kehadiran-Nya sehingga kita melakukan kemaksiatan dan membiasakan perbuatan-perbuatan dosa tanpa penghormatan terhadap Kehadiran-Nya? 

Oleh karena itu, seseorang harus berbicara kepada dirinya, “Maka ingatlah, hai nafs-ku yang buruk, kezaliman besar apa lagi yang akan engkau lakukan, apabila engkau melakukan kemaksiatan besar seperti ini dalam Kehadiran-Nya dan dengan perantaraan kekuatan-kekuatan yang merupakan kenikmatan-kenikmatan-Nya yang dianugerahkan kepadamu? Tidakkah sebaiknya engkau meleleh karena malu dan terbenam ke dalam tanah kalau engkau memiliki setitik rasa malu?"

Posting Komentar untuk "Tadzakkur, Mengingat Allah dan Bersyukur atas Kenikmatan-Nya"