Kewajiban Suami dan Istri dalam Syariat Islam

Islam menganjurkan setiap pemeluknya untuk menikah sebagaimana pada bahasan artikel anjuran menikah dalam Islam. Setelah menikah, maka sang laki-laki akan berubah status menjadi suami dan sebaliknya sang wanita akan berubah menjadi Istri. Bagaimana kewajiban masing-masing sebagai Suami dan sebagai Istri dalam Syariat islam?

Berikut ini adalah beberapa sumber referensi mengenai kewajiban suami dan kewajiban istri yang bersumber dari Al-Qur’an dan beberapa pendapat dari Imam Mazhab yang dapat kita jadikan pedoman tentang apa saja kewajiban suami dan kewajiban istri dalam ajaran syariat Islam.


Apa Kewajiban Suami dalam Syariat Islam?

Kewajiban suami terhadap istrinya adalah memberikan nafkah baik nafkah lahir maupun batin. Adapun kewajiban istri kepada suaminya menurut para ahli fikih adalah hanya sebatas memberikan pelayanan secara seksual kepada suaminya. Sedangkan hal-hal seperti mencuci, memasak, menata membersihkan dan mengatur dan rumah pada dasarnya adalah merupakan kewajiban dari suami dan bukan kewajiban dari seorang istri.

http://islamiwiki.blogspot.com/
Di dalam syariat Islam yang mempunyai kewajiban mencuci baju dan memasak dan memang bukanlah pihak istri, akan tetapi kewajiban suami. Hal ini dikarenakan kesemua hal itu adalah bagian dari nafkah yang wajib diberikan oleh pihak suami kepada pihak istri.

Firman Allah swt. dalam Al-Qur’an:

ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعۡضَهُمۡ عَلَىٰ بَعۡضٖ وَبِمَآ أَنفَقُواْ مِنۡ أَمۡوَٰلِهِمۡۚ

Artinya: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. (QS. An-Nisa' : 34)

Bagaimana kewajiban suami dan kewajiban istri menurut pendapat para Imam Mazhab.

Keterangan di atas, adalah adalah merupakan suatu kesimpulan dari para ulama besar, yang tingkatnya sampai pada mujtahid mutlak. Dan apabila kita telaah dalam kitab-kitab fikih yang mereka buat, ternyata sangat menarik.

Pada kenyataannya terdapat 4 mazhab besar dan satu satu mazhab lagi yaitu mazhab Dzahihiri yang menerangkan dan sepakat bahwa pihak istri pada hakikat dan dasarnya mempunyai dan kewajiban untuk berkhidmat atau melayani kepada suaminya.

Pendapat dari Mazhab Imam al-Hanafi tentang kewajiban suami dan istri

Dalam Kitab Al-Bada’i, Al-Imam Al-Kasani menjelaskan seandainya seorang suami pulang dengan membawa bahan makanan yang masih harus diolah dan dimasak terlebih dahulu, kemudian sang istri enggan untuk mengolah dan memasaknya, maka sang istri itu tidak boleh dipaksa mengerjakannya. Justru, pihak suamilah yang diperintahkan agar membawa pulang bahan makanan yang siap untuk dimakan.

Disebutkan juga dalam kitab Al-Fatawa Al-Hindiyah fi Fiqhil Hanafiyah menyebutkan Seandainya sang istri mengatakan Saya tidak mau memasak dan membuat roti, maka sang istri tidak boleh dipaksa untuk mengerjakannya. Dan seorang suami harus memberi istri makanan atau bahan pangan yang siap santap atau siap makan, atau dengan menyediakan pembantu untuk mengolah atau memasak makanan.

Pendapat Mazhab Maliki tentang Kewajiban Suami dan isti

Kitab karangan Ad-Dardir yaitu Asy-syarhul Kabir disebutkan bahwa wajib bagi suami untuk melayani atau khidmat kepada istrinya. Meskipun sang suami mempunyai kelapangan rezeki sedangkan sang istrinya mempunyai kemampuan untuk berkhidmat atau melayani suami, akan tetapi tetap kewajiban sang istri bukanlah untuk berkhidmat atau melayani suami. Disebutkan bahwa suami adalah pihak yang wajib untuk berkhidmat. Oleh sebab itu, wajib bagi suami untuk menyediakan seorang pembantu untuk istrinya.

Pendapat Mazhab Imam As-Syafi'I tenang kewajiban suami dan Istri

Dalam Kitab hasil karya Abu ishaq Asy-Syirazi rahimahullah yaitu Kitab Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab disebutkan bahwa tidaklah wajib bagi istri untuk berkhidmat atau melayani untuk memasak, membuat roti, mencuci serta bentuk khidmat atau pelayanan yang lainnya, hal ini karena yang ditetapkan dalam pernikahan adalah kewajiban memberikan pelayanan seksual, sedang pelayanan atau khidmat yang lainnya bukan termasuk kewajiban istri.

Pendapat Mazhab Imam Hanabilah mengenai kewajiban suami dan istri

Pendapat dari Imam Hanabilah menyebutkan bahwa pihak istri tidak mempunyai kewajiban untuk berkhidmat kepada pihak suami, baik dalam bentuk memasak, menyapu rumah, mengadoni bahan makanan, membuat roti, dan yang lain sejenisnya, termasuk menimba air di sumur. Ini adalah merupakan nash Imam Ahmad rahimahullah. Dasar dari pendapat ini adalah karena aqadnya hanya berkewajiban memberikan pelayanan seksual. Maka pelayanan atau khidmat dalam bentuk yang lain tidak wajib dilakukan oleh pihak istri, seperti memanen tanaman atau memberikan minum.

Pendapat Mazhab Imam Az-Zhahiri tentang kewajiban suami dan istri

Di dalam mazhab fikih yang dipelopori oleh Daud Adz-Dzahiri, juga ditemukan pendapat tegas dari para ulama yang menyebutkan bahwa istri tidak mempunyai kewajiban untuk membuat roti, mengadoni, memasak dan bentuk khidmat yang lain sejenisnya, meskipun suaminya anak khalifah.

Disebutkan bahwa pihak suami yang tetap mempunyai kewajiban untuk menyediakan pembantu atau orang yang dapat menyiapkan untuk istrinya minuman dan makanan yang siap untuk di makan atau disantap. Pihak suami juga berkewajiban untuk menyediakan pembantu atau pelayan yang diperuntukkan untuk menyediakan tempat tidur dan menyapu.

Pendapat lain Yang Berbeda tentang kewajiban suami dan istri

Dalam Kitab Fikih Kontemporer karya Dr. Yusuf Al-Qaradawi. Beliau memberikan pendapat yang berbeda dan agak kurang setuju dengan pendapat-pendapat Dr. Yusuf Al-Qaradawi cenderung berpendapat tetap mengatakan bahwa pihak wanita atau istri adalah pihak yang wajib berkihdmat atau memberikan pelayanan selain hanya urusan seksual kepada pihak suami.

Dalam pendapat Dr. Yusuf Al-Qaradawi, pihak istri wajib untuk berkhidmat dalam menyapu, memasak, membersihkan rumah, dan mengepel. Karena semua hal tersebut adalah merupakan bentuk timbal balik dari nafkah yang telah diberikan oleh suami kepada istrinya.

Kita dapat memahami akan pendapat dari Syeikh yang hidupnya di Doha Qatar yaitu Dr. Yusuf Al-Qaradawi, akan tetapi satu hal yang jangan dilupakan, Dr. Yusuf Al-Qaradawi menyebutkan bahwa pihak suami tetap berkewajiban memberikan nafkah kepada pihak istri, di luar urusan atau hal kepentingan berkaitan dengan rumah tangga.

Dengan demikian pihak istri harus digaji dengan nilai yang pasti oleh pihak suaminya. Hal ini dikarenakan Allah SWT telah berfirman di dalam Al-Qur’an yang menyebutkan bahwa pihak suami itu memberikan nafkah  kepada pihak istrinya.  Dan pengertian dari memberi nafkah itu tidak hanya sekedar membiayai untuk keperluan rumah  tangga, akan tetapi lebih dari hal itu, sehingga pihak suami harus 'menggaji' para istri. Dengan demikian uang gaji tersebut harus di luar dari semua biaya keperluan rumah tangga.

Pada kehidupan yang nyata, yang sering terjadi memang terlihat aneh, yaitu pihak suami menyerahkan gajinya kepada pihak istri, kemudian semua kewajiban suami harus dibayarkan oleh istri dari gaji tersebut. Apabila masih terdapat sisa, tetap saja itu tidak lantas menjadi hak pihak istri. Dan lebih celaka lagi, apabila gaji tersebut kurang, terkadang pihak istri yang harus memikirkan untuk mengatasi kekurangan tersebut.

Sehingga pendapat dari Syeikh Al-Qaradawi tersebut di atas, dapat menjadi masukan yang dapat kita terima, dengan catatan pihak istri juga harus mendapatkan 'jatah gaji' yang pasti dari pihak suaminya, di luar urusan kebutuhan atau kepentingan rumah tangga.

Tugas Suami dan Istri pada Masa Salaf

Memang secara jelas kita tidak menemui di dalam al-Qur’ann dan juga di dalam hadits Nabi yang menerangkan, menyebutkan dan menjelaskan bahwa yang mempunyai kewajiban memasak, mencuci pakaian, menyetrika, menjemur, membersihkan rumah,melipat baju dan khidmat lainnya adalah pihak suami.

Secara esksplisit aturan-aturan semacam itu tidak akan kita temukan. Yang kita temukan adalah berupa contoh nyata dalam kehidupan Nabi Muhammad SAW dan contoh nyata dari kehidupan para shahabat Nabi. Akan tetapi sayangnya adalah, memang tidak terdapat dalil-dalil atau hadits yang bersifat eksplisit. Semua dalil atau hadits dapat ditarik kesimpulannya dengan cara yang berbeda.

Suatu contoh misalnya tentang Fatimah puteri Nabi SAW yang bekerja sendiri tanpa pembantu. Sering kali kisah tentang Fatimah yang bekerja sendiri tanpa pembantu ini dijadikan  hujjah oleh kalangan yang mewajibkan wanita untuk bekerja untuk berkhidmat kepada pihak suami. Akan tetapi, ada banyak kajian yang menarik mengenai kisah ini dan tidak semata-mata begitu saja dapat dijadikan sebagai dasar kewajiban wanita bekerja untuk khidmat suaminya.

Kisah cerita sebaliknya, dari Asma' binti Abu Bakar yang justru diberikan dan disediakan pembantu rumah tangga oleh mertuanya. Karena kebaikan mertua dan suami Asma' memang tidak mampu untuk menyediakan pembantu. Sehingga kewajiban suami itu ditangani oleh pembantu yang disediakan oleh mertua Asma. Asma' adalah wanita berdarah biru dari golongan Bani Quraisy.

Dari kisah cerita yang lain dari Saad bin Amir ra., seorang lelaki yang diangkat menjadi gubernur oleh Khalifah Umar di kota Himsh. Ketika menjalankan tugasnya sebagai gubernur, beliau sering di komplain oleh penduduknya karena sering terlambat berangkat ke kantor, Saad bin Amir berasalan bahwa  terlambatnya adalah karena dirinya tidak mempunyai pembantu di rumah. Sehingga tidak ada orang yang dapat disuruh untuk mencuci baju atau memasak buat istrinya.

Dalam islam Perempuan Tidak memerlukan Gerakan Pembebasan

Apabila kita mengkaji lebih mendalam kajian tentang kewajiban istri dan suami dengan benar, ternyata ajaran Islam sangat memberikan ruang kepada pihak wanita dalam hal ini istri untuk dapat  menikmati hidup mereka. sehingga tidak terdapat alasan bagi para perempuan muslimah untuk latah ikut-ikutan dengan gerakan wanita di barat, yang masih primitif karena hak-hak perempuan disana masih saja dikekang.

Sudah sejak 14 abad Islam telah memposisikan pihak wanita atau istri sebagai makhluk yang harus diberi,  dihargai, dan dimanjakan bahkan diberikan gaji. Posisi seorang istri di rumah tidaklah sebagai pembantu yang dapat disuruh-suruh dengan seenaknya. Seorang istri bukanlah pembantu atau jongos yang pekerjaanya serabutan dan dapat bekerja apapun mulai dari bersih-bersih, memasak, mencuci, mengepel, menyetrika, bekerja dari pagi membuka mata dan tidak berhenti hingga larut malam. Itupun masih harus melayani pihak suami dalam hal seksual ketika badan mereka sudah kelelahan.

Namun, apabila saat ini para ibu-ibu atau istri mengerjakan hal yang demikian, maka niatkanlah kesemuanya itu sebagai niat ibadah dan lakukanlah semua itu dengan ikhlas. Karena kunci amal ibadah yang diterima oleh Allah adalah niat. Dengan demikian, fainsya Allah, Allah swt, akan memberikan pahala kepada para ibu, para istri yang teramat besar. Dan semoga juga para suami dapat lebih banyak mempelajari dan mengaji ajaran Islam dengan sempurna. Wallahu a’lam.

Semoga masing-masing pihak dapat menjalankan kewajiban sebagai sumai dan kewajiban sebagai istri sesuai dengan syariat dan ajaran Islam.

Posting Komentar untuk "Kewajiban Suami dan Istri dalam Syariat Islam"